MAKALAH
SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
DBD
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur
kita panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan
rahmatnyalah maka kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Berikut ini makalah
dengan judul "surveilans epidemiologi DBD", yang memenurut kami dapat
memberikan manfaat yang besar bagi kita semua untuk mengetahui bahaya penyakit
ini. Melalui kata pengantar ini kami terlebih dahulu meminta maaf dan memohon
permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami
buat kurang tepat.
Kami mengucapkan terima kasih
kepada para pembaca yang meluangkan waktunya dan berharap makalah
ini dapat menjadi inspirasi yang dapat menanbah wawasan serta dapat membantu
proses pembuatan makalah bagi generasi selanjutnya. Dengan ini kami
mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga allah SWT
memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini. Semoga makalah ini bermanfaat untuk para pembaca.
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan jenis
penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan secara nasional, hampir
diseluruh daerah Indonesia memiliki angka morbiditas dan mortalitas penyakit
DBD. DBD adalah jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Agypti yang ditandai
dengan penurunan trombosit darah, dan penurunan kondisi biologis lainnya.
Word Health Organization (1995) populasi di dunia
diperkirakan berisiko terhadap penyakit DBD mencapai 2,5-3 miliar terutama yang
tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis. Saat ini juga
diperkirakan ada 50 juta infeksi dengue yang terjadi diseluruh dunia setiap
tahun. Diperkirakan untuk Asia Tenggara terdapat 100 juta kasus demam dengue
(DD) dan 500.000 kasus DHF yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan 90%
penderitanya adalah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun dan jumlah kematian
oleh penyakit DHF mencapai 5% dengan perkiraan 25.000 kematian setiap tahunnya
(WHO, 2012).
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan
pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung
sejak tahun 1968 hingga 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara
dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dan tertinggi nomor dua di dunia
setelah Thailand (Depkes, 2010).
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2010), program pencegahan
dan DBD telah berlangsung lebih kurang 43 tahun dan berhasil menurunkan angka
kematian 41,3% pada tahun 1968 menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi belum
berhasil menurunkan angka kesakitan. Jumlah penderita cenderung meningkat,
penyebarannya semakin luas, menyerang tidak hanya anak-anak tetapi juga
golongan umur yang lebih tua, dan tahun 2011 sampai bulan Agustus tercatat
24.362 kasus dengan 196 kematian (Case Fatality Rate sebesar
0,80%). Berdasarkan Laporan Kementerian Kesehatan RI (2012), di ketahui angka
kematian akibat DBD di beberapa wilayah masih cukup tinggi yaitu di atas 1%
antara lain Provinsi Gorontalo, Riau, Sulawesi Utara Bengkulu, Lampung, NTT,
Jambi, Jawa Timur, Sumatra Utara dan Sulawesi Tengah.
Kasus DBD di Sulawesi Selatan pada tahun 2011 kategori
tinggi pada Kabupaten Bulukumba, Gowa, Maros, Bone dan Luwu (130-361 kasus).
Sedangkan terendah pada Kabupaten/Kota yaitu Selayar, Sinjai, dan Tana Toraja
(0-9 kasus) dan Kabupatenyang tidak terdapat kasus DBD yaitu Kabupaten
Bantaeng.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Lau,
Kabupaten Maros terdapat penderita demam berdarah sebanyak 30 orang dengan
berjenis kelamin laki-laki sebanyak 17 orang dan perempuan sebanyak 13
orang.
1.1 Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD)?
2.
Apa Dasar-Dasar Hukum Surveilans?
3.
Bagaimana Bentuk-Bentuk Surveilans?
4. Bagaimana
cara Pencegahan penyakit DBD?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian surveilans demam
berdarah bengue (DBD)
2. Mengetahui dasar-dasar hukum surveilans
3. Mengetahui ciri-ciri dari surveilans
4. Mengetahui pencegahan penyakit DBD
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Tinjuan Umum Tentang Surveilans
Epidemiologi Penyakit
A. Definisi Surveilans pidemiologi
Istilah surveilans berasal dari bahasa Prancis, yaitu
“surveillance”, yang berarti “mengamati tentang sesuatu”.Meskipun konsep
surveilans telah berkembang cukup lama, tetapi seringkali timbul kerancuan
dengan kata “surveillance” dalam bahasa Inggris, yang berarti “mengawasi
perorangan yang sedang dicurigai”. Menurut center of disease
control (CDC) surveilans adalah pengumpulan, analaisis, dan
interprestasi data kesehatan secara sistematis dan terus-menerus, implemntasi
dan evaluasi upaya kesehatan masayrakat. Selain itu kegiatan ini
dipadukan dengan disemansi data secara tepat waktu kepada pihak-pihak yang
perlu mengetahuinya. ( dedialamsyah. 2013).
B. Definisi Surveilans
Surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis yang
dilakukan secara sistematis dan terus-menerus terhadap masalah kesehatan agar
dapat dilakukan upaya penanggulangan yang efektif dan efisien melalui proses
pengumpulan data, pengolahan data, interpretasi data dan penyebarluasan
informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
C. Bentuk-bentuk Surveilans
Terdapat lima bentuk dari surveilans yaitu sebagai berikut :
1. Surveilans pasif, yaitu pengumpulan data
yang diperoleh dari laporan bulanan sarana pelayanan di daerah.
2. Surveilans aktif, yaitu pengumpulan data
yang dilakukan secara langsung untuk mempelajari penyakit tertentu dalam waktu
yang relatif singkat dan dilakukan oleh petugas kesehatan secara teratur
seminggu sekali atau dua minggu sekali untuk mencatat ada atau tidaknya kasus
baru penyakit tertentu.
3. Surveilans menyeluruh, yaitu pengumpulan
data yang dilakukan dalam batas waktu tertentu diberbagai bidang agar dapat
mewakili populasi yang diteliti dalam sebuah negara.
4. Surveilans sentinel, yaitu pengumpulan
data yang dilakukan terbatas pada bidang-bidang tertentu. Survei ini tidak
dapat digunakan dalam sebuah populasi karena dianggap tidak mewakili sebuah
kelompok populasi, akan tetapi dapat digunakan untuk memonitor tren penyakit
dan dalam mengumpulkan informasi yang lebih terperinci.
5. Surveilans berdasarkan kondisi
masyarakat, sarana dan prasarana serta laboratorium kesehatan termasuk pelaporan
yang dilakukan oleh masyarakat, fasilitas kesehatan dan laboratorium secara
berturut-turut.
D. Tujuan Surveilans Epidemiologi
Tujuan surveilans epidemiologi adalah tersedianya data dan
informasi epidemiologi sebagai dasar pengambilan keputusan dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program dan peningkatan Sistem Kewaspadaan
Dini (SKD).
2.2 Tinjuan Umum Tentang
Dbd
A. Pengertian
Demam Berdarah Dengue
Menurut Depkes (2005),Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah
penyakit yang disebabkan oleh virus dari golongan Arbovirus yang ditandai
dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2‐7 hari, manifestasi perdarahan (peteke, purpura, perdarahan
konjungtiva, epistaksis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis,
melena, hematuri) termasuk uji tourniquet (Rumple Leede) positif,
trombositopeni (jumlah trombosit ≤ 100.000/l, hemokonsentrasi (peningkatan
hemotokrit ≥ 20%) disertai atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali).
Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di indonesia yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan
penyebaranya semakin luas. Penyakit DBD merupakan penyakit menular terutama
menyerang anak-anak, (masriadi, 2014)
B. Dasar Hukum DBD
· UU
Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
· Undang
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
· PP
Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular
· PP
Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan pemerintah propinsi
sebagai daerah otonom
· Permenkes
Nomor 560/Menkes/Per/VIII/1984 tentang jenis penyakit tertentu yang dapat
menimbulkan wabah
· Permenkes
Nomor 949/Menkes/SK/VIII/2004 tentang pedoman penyelenggaraan sistem kewaspadaa
dini kejadian luar biasa (KLB)
· Permenkes
Nomor 356/Menkes/PER/IV/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan
Pelabuhan
· Kepmenkes
Nomor 715/Menkes/SK/V/2003 tentang persyaratan Hygiene Sanitasi Jasa Boga
· Kepmenkes
Nomor 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
Surveilans Epidemiologi Kesehatan
· Kepmenkes
Nomor/1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi
· Penyakit
Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu
C. Faktor Risiko
Penularan Demam Berdarah Dengue
Beberapa
faktor penularan DBD sebagai berikut:
1. pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat,
2. mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan
prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi
sehingga memungkinkan terjadinya KLB,
3. kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai
kemampuan untuk menyediakan rumah yang layak dan sehat,
4. pasokan air minum dan pembuangan sampah yang benar,
5. pendidikan dan pekerjaan
masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air, keberadaan
tanaman hias dan pekarangan.
D. Klasifikasi kasus dan
berat penyakit
Sekarang ini disepakati bahwa dengue adalah suatu penyakit
yang memiliki presentasi klinis bervariasi dengan perjalanan penyakit dan
luaran (outcome) yang tidak dapat diramalkan.
Diterbitkannya panduan World Health Organization (WHO)
terbaru di tahun 2009 lalu, merupakan penyempurnaan dari panduan sebelumnya
yaitu panduan WHO 1997.
Klasifikasi
kasus yang disepakati sekarang adalah:
a. Dengue
tanpa tanda bahaya (dengue without warning signs),
b. Dengue
dengan tanda bahaya (dengue with warning signs), dan
c. Dengue
berat (severe Dengue)
E. Kriteria dengue
tanpa/dengan tanda bahaya :
1. Dengue
probable :
a.
Bertempat tinggal di /bepergian ke daerah endemik dengue
b.
Demam disertai 2 dari hal berikut :
1)
Mual, muntah
2)
Ruam
3)
Sakit dan nyeri
4)
Uji torniket positif
5)
Lekopenia
6)
Adanya tanda bahaya
c. Tanda
bahaya adalah :
1)
Nyeri perut atau kelembutannya
2)
Muntah berkepanjangan
3)
Terdapat akumulasi cairan
4)
Perdarahan mukosa
5)
Letargi, lemah
6)
Pembesaran hati > 2 cm
7)
Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah
trombosit yang cepat
8)
Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila bukti
kebocoran plasma tidak jelas)
2. Kriteria
dengue berat :
a.
Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS),
akumulasi cairan dengan distress pernafasan.
b.
Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi
c.
Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT ≥ 1000, gangguan
kesadaran, gangguan jantung dan organ lain)
Untuk mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat
dilakukan uji tourniquet, walaupun banyak faktor yang mempengaruhi uji ini
tetapi sangat membantu diagnosis, sensitivitas uji ini sebesar 30 % sedangkan
spesifisitasnya mencapai 82 %.
F. Gambaran Klinis DBD
Masa inkubasi virus denguedalam manusia
(inkubasi intrinsik) berkisar antara 3 sampai 14 hari sebelum gejala muncul,
gejala klinis rata-rata muncul pada hari keempat sampai hari ketujuh, sedangkan
masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari.
Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD)
dan DBD, ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari; pendarahan
diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan jumlah
trombosit ≤ 100 x 109/L dan kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh.
Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai demam, beracun dan
pemulihan.
Terdapat 4 tahapan derajat keparahan
DBD, yaitu :
a. Derajat I : Dengan tanda terdapat
demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket + (positif)
b. Derajat II : Yaitu derajat I
ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain
c. Derajat III : Ditandai adanya
kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi
(<20 mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai <80 mmHg), sianosis di
sekitar mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasen tampak gelisah
d. Derajat IV :
Ditandai dengan syok berat (profound shock) yaitu nadi tidak dapat
diraba dan tekanan darah tidak terukur.
G. Diagnosis DBD
Diagnosis
klinis :
Ditandai demam akut, trombositopenia, perdarahan
ringan-berat, kebocoran plasma hemokonsentrasi, efusi pleura, hipoalbuminemia.
Diagnosis
Laboratorium :
a. Pemeriksaan
Hematologi Rutin.
b. Uji
virology
c. Uji
serologi
Terdapat lima uji serologi dasar yang umum digunakan untuk
mendiagnosis infeksi Dengue secara rutin yaitu :
1.
Uji hambatan hemaglutinasi (Hemaglutinasi inhibition = HI)
2.
Uji Fiksasi komplemen (Complemen fixation = CF)
3.
Uji Netralisasi (Neutralization test = NT)
4.
IgM Capture enzymelinked immunosorbent assay (MAC ELISA)
5.
Indirect lg G ELISA
H. Pencegahan DBD
Usaha pencegahan dan pemberantasan DBD yang telah dilakukan
pemerintah, antara lain dengan metode pengasapan (fogging) dan abatisasi.
Penyemprotan sebaiknya tidak dipergunakan, kecuali keadaan genting selama
terjadi KLB atau wabah.
Upaya yang paling tepat untuk mencegah demam berdarah adalah membasmi
jentik-jentiknya ini dengan cara sebagai berikut :
1. Bersihkan ( kuras ) tempat
penyimpanan air (seperti bak mandi/WC, drum dll) seminggu sekali.
2. Tutuplah kembali tempayan rapat-rapat
setelah mengambil airnya, agar nyamuk Demam berdarah tidak dapat masuk dan
bertelur disitu.
3. Gantilah air di vas
bunga dan pot tanaman air setiap hari
4. Kubur atau buanglah
sampah pada tempatnya, plastik dan barang-barang bekas yang bisa digenangi air
hujan
Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin
atau sulit dikuras, taburkan bubuk Abate ke dalam genangan air tersebut untuk
membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali
atau peliharalah ikan ditempat itu. Takaran penggunaan bubuk Abate adalah
sebagai berikut: untuk 10 liter air cukup dengan 1 gram bubuk Abate atau 10
gram untuk 100 liter dan seterusnya. Bila tidak ada alat untuk menakar, gunakan
sendok makan. Satu sendok makan peres (yang diratakan di atasnya) berisi 10
gram Abate. Anda tinggal membaginya atau menambahnya sesuai dengan banyaknya
air yang akan diabatisasi.Takaran tak perlu tepat betul. (Abate dapat dibeli di
apotik-apotik).
I. Epidemiologi DBD
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan spektrum
manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam
dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue
shock syndrome (DSS). Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30
kali lipat dengan peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan
dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan
di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika
Tengah, Amerika dan Karibia. Virus dengue dilaporkan telah
menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah perkotaan yang
berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika Selatan,
Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan
sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit dan
mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun diperkirakan 2,5 miliar orang atau
hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang
memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk setempat. Jumlah
kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik
bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak, 90%
di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya
selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan
2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang
lebih. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian
turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008
sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality
rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian
1.384 orang atau CFR 0,89%. Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi
adalah pada kelompok umur <15 tahun (95%) dan mengalami pergerseran dengan
adanya peningkatan proporsi penderita pada kelompok umur 15-44 tahun, sedangkan
proporsi penderita DBD pada kelompok umur >45 tahun sangat rendah seperti
yang terjadi di Jawa Timur berkisar 3,64%.
3.1 Tinjauan Umum Tentang
Surveilans Dbd
A. Surveilans Epidemiologis Penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Puskesmas
Surveilans Epidemiologis Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Puskesmas meliputi kegiatan pengumpulan dan pencatatan data
tersangka DBD dan penderita DD, DBD,SSD; pengolahan dan penyajian data
penderita DBD untuk pemantauan KLB; KD/RS-DBD untuk pelaporan tersangka DBD,
penderita DD, DBD, SSD dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan; laporan KLB
(W1); laporan mingguan KLB (W2-DBD); laporan bulanan kasus/kematian DBD dan
program pemberantasan (K-DBD); data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD
(DP-DBD), penentuan stratifikasi (endemisitas) desa/kelurahan, distribusi kasus
DBD per RW/dusun, penentuan musim penularan dan kecenderungan DBD.
B. Pengumpulan dan pencatatan data.
1. Pengumpulan dan pencatatan dilakukan setiap hari, bila ada
laporan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD. Data tersangka DBD dan
penderita DD, DBD, SSD yang diterima puskesmas dapat berasal dari rumah sakit
atau dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas sendiri atau puskesmas lain (cross
notification) dan puskesmas pembantu, unit pelayanan kesehatan lain (balai
pengobatan, poliklinik, dokter praktek swasta, dan lain – lain), dan hasil
penyelidikan epidemiologi (kasus tambahan jika sudah ada konfirmasi dari rumah
sakit / unit pelayanan kesehatan lainnya).
2. Untuk pencatatan tersangka DBD dan
penderita DD, DBD, SSD menggunakan ‘Buku catatan harian penderita DBD’ yang
memuat catatan (kolom) sekurang – kurangnya seperti pada form DP-DBD ditambah
catatan (kolom) tersangka DBD.
C. Pengolahan dan Penyajian
data.
Data dalam ‘Buku catatan harian penderita DBD’ diolah dan
disajikan dalam bentuk :
1.
Pemantauan situasi DD, DBD, SSD mingguan menurut
desa/kelurahan
2.
Penyampaian laporan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD
selambat – lambatnya dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan menggunakan
formulir KD/RS-DBD.
3.
Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD
menggunakan formulir DP-DBD yang disampaikan perbulan.Laporan mingguan (W2-DBD)
:
a. Jumlahkan penderita DBD dan SSD
setiap minggu menurut desa / kelurahan
b.
Laporkan ke dinas kesehatan kabupaten / kota dengan formulir
W2-DBD
4. Laporan
bulanan
a. Jumlahkan penderita / kematian DB, DBD, SSD termasuk data
beberapa kegiatan pokok pemberantasan / penanggulangannya setiap bulan.
b. Laporkan ke dinas kesehatan
kabupaten / kota dengan formulir K-DBD.
5. Penentuan stratifikasi desa/kelurahan DBD
Cara
menentukan stratifikasi (endemisitas) desa/kelurahan
House
Index (HI) =
|
Jumlah
rumah/bangunan yang ditemukan jentik
|
X
100%
|
Jumlah
rumah/bangunan yang diperiksa
|
1.
Buatlah tabel desa/kelurahan dengan menjumlahkan penderita
DBD dan SSD dalam 3 (tiga) tahun terakhir.
2.
Tentukan stratifikasi masing – masing desa/kelurahan
menurutkriteria stratifikasi desa/kelurahan
3.
Stratifikasi desa tersebut disajikan dalam bentuk peta
6.
Mengetahui distribusi penderita DBD per RW/dusun, dibuat
pertahun dengan cara menjumlahkan penderita DBD dan SSD per RW/dusun.
7. Penentuan musim penularan DBD.
Jumlahkan penderita DBD dan SSD per bulan selama 5 tahun
terakhir dan disajikan dalam bentuk tabel dan selanjutnya disajikan dalam
bentuk grafik.
8. Mengetahui kecenderungan situasi
penyakit, untuk mengetahui apakah situasi penyakit DBD di wilayahPuskesmas
tetap, naik atau turun.
D. Surveilans Epidemiologis Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Dinas Kesehatan Kabupaten
1. Pencatatan
Data
Sumber
data :
a.
Laporan KD/RS-DBD dari RS (pemerintah atau swasta)
b.
Laporan data dasar personal DBD dari puskesmas (DP-DBD)
c.
Laporan rutin bulanan (K-DBD) dari Puskesmas
d.
Laporan W1 dan W2-DBD
e.
Laporan hasil surveilans aktif oleh dinas kesehatan
kabupaten/kota ke unit pelayanan kesehatan
f.
Cross Notification dari kabupaten/kota lain.
2. Pencatatan
data
a.
Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD,
misalnya menggunakan ‘Buku catatan penderita DBD’ yang memuat catatan (kolom)
sekurang – kurangnya seperti pada form DP-DBD ditambah catatan (kolom)
tersangka DBD.
b.
Perlu kecermatan terhadap kemungkinan pencatatan yang
berulang untuk pasien yang sama, misalnya antara tersangka DBD dan penderita
DBD selama proses perawatan dan antara penderita DBD yang dilaporkan RS dengan
yang dilaporkan oleh puskesmas, sehingga perlu penyesuaian data.
3. Pengolahan dan Penyajian Data
Dari data yang ada pada buku catatan penderita DD, DBD dan
SSD dapat dilakukan penyajian data sebagai berikut :
a.
Pemantauan situasi DD, DBD, SSD mingguan menurut kecamatan
b.
Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD
menggunakan formulir DP-DBD yang disampaikan per bulan.
c.
Laporan mingguan (W2-DBD)
d.
Laporan bulanan, jumlahkan dan laporkan penderita / kematian
DD, DBD, SSD termasuk beberapa kegiatan pokok pemberantasan / penanggulangannya
setiap bulan.
e.
Penentuan stratifikasi kecamatan DBD
f.
Mengetahui distribusi penderita DBD per desa / kelurahan
g.
Penentuan musim penularan
h.
Mengetahui kecenderungan situasi DBD, untuk mengetahui
apakah situasi penyakit DBD di wilayah kabupaten / kota tetap, naik atau turun.
i.
Mengetahui jumlah penderita DD, DBD dan SSD per tahun
j.
Mengetahui distribusi penderita dan kematian DBD menurut
tahun, kelompok umur dan jenis kelamin
BAB III
METODE SURVEILANS
3.1 Jenis Surveilans
Jenis surveilans yang diterapakan di Puskesmas Lau Kecmatan
Lau Kabupaten Maros yaitu surveilans rutin terpadu penyakit
yakni penyelenggaraan surveilans epidemiologi terhadap beberapa kejadian,
permasalahn dan atau faktor resiko dan khusus penyakit DBD dan
menggunakan surveilans terpadu penyakit yakni suatu bentuk laporan
surveilans pengamatan kasus baru penyakit menular dalam satuan waktu bulanan.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan dan pencatatan dilakukan setiap hari, bila ada
laporan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD.Data tersangka DBD dan
penderita DD, DBD, SSD yang diterima Puskesmas dapat berasal
dari toga/toma, bidan desa, poliklinikPuskesmas, dan kader yang
terdapat di setiap lingkungan dimana dalam satu lingkungan terdapat maksimal
lima kader yang ditempatkan oleh petugas surveilans, dan silakukan pelaporan ke
Dinkes Kab. Maros sebelum tanggal 5 setiap bulannya.
3.3 Jumlah Populasi Dan Sampel
A. Populasi
Jumlah kasus DBD di Puskesmas Lau
kecamatan Lau Kabupaten Maros bulan januari sampai desember tahun 2014 terdapat
30 orang dan 2 diantaranya berada diluar daerah.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
HASIL
1. Kasus Penyakit Dbd
Berdasarkan Umur
Tabel 4.1: Distribusi Kasus Penyakit DBD Berdasakan Umur di
Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2014
Kelompok Umur
|
Frekuensi
|
Persentase
|
< 1
|
0
|
0
|
1-14
|
24
|
80,0%
|
15-53
|
6
|
20,0%
|
>54
|
0
|
0
|
Jumlah
|
30
|
100
|
Sumber
Data: Puskesmas Lau Tahun 2014
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa kasus penyakit DBD
berdasarkan umur jumlah penderita DBD tertinggi pada kelompok umur 1-14 tahun
sebanyak 80% sedangkan pada kelompok umur < 1 dan >54 tahun tidak ada
penderita DBD.
2. Kasus Penyakit Dbd
Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.2: Distribusi Kasus Penyakit DBD Berdasakan Jenis
Kelamin di Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2014
JENIS
KELAMIN
|
FREKUENSI
|
PERSENTASE
|
||
PEREMPUAN
|
13
|
43,3
|
||
LAKI-LAKI
|
17
|
56,7
|
||
Jumlah
|
30
|
100
|
||
|
|
|
|
|
Sumber Data:
Puskesmas Lau Tahun 2014
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa kasus penyakit DBD
berdasarkan Jenis kelamin laki-laki sebanyak 56,7% sedangkan jenis kelamin
perempuan sebanyak 43,3%.
3. Kasus Penyakit Dbd
Bedasarkan Lingkungan
Tabel 4.3: Distribusi Kasus Penyakit DBD Berdasakan
Lingkungan di Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2014
NAMA LINGKUNGAN
|
FREKUENSI
|
PERSENTASE
|
|
||
Di luar daerah
|
2
|
6,6
|
|
||
Allepolea
|
9
|
30,0
|
|
||
bonto marranu
|
2
|
6,7
|
|
||
maccini baji
|
11
|
36,7
|
|
||
Marannu
|
5
|
16,7
|
|
||
Soreang
|
1
|
3,3
|
|
||
Jumlah
|
30
|
100
|
|||
|
|
|
|
|
|
Sumber Data: Puskesmas Lau Tahun 2014
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa kasus penyakit DBD
berdasarkan lingkungan jumlah kasus tertinggi terdapat pada lingkungan Maccini
baji sebanyak 36,7% sedangkan terendah di lingkungan soreang sebanyak
3,3%.
4.2 PEMBAHASAN
Kementerian Kesehatan
RI mencatat jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia pada
bulan Januari-Februari 2016 sebanyak 13.219 orang penderita DBD dengan jumlah
kematian 137 orang. Proporsi penderita terbanyak yang mengalami DBD di Indonesia
ada pada golongan anak-anak usia 5-14 tahun, mencapai 42,72% dan yang kedua
pada rentang usia 15-44 tahun, mencapai 34,49%.
Persebaran
Kasus
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi
peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD,
dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada
tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada
laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada
tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009.
Angka
Kematian (AK)
Angka Kematian (AK)/Case Fatality Rate
(CFR) pada tahun-tahun awal kasus DBD merebak di Indonesia sangat tinggi. Kemudian
dari tahun ke tahun mulai menurun dari 41,4% pada tahun 1968 terus menurun
sampai menjadi 0,89% pada tahun 2009 (Gambar 7). Meskipun AK menurun tetapi
bila dilihat angka absolut kematian dalam lima tahun terakhir tetap meningkat.
Provinsi dengan AK tertinggi pada
umumnya berbeda dengan provinsi dengan AI tertinggi. Hal ini berarti provinsi
dengan AI tinggi belum tentu juga menjadi provinsi dengan AK tinggi. Pada
Gambar dibawah ini terlihat semua provinsi dengan AK tertinggi adalah provinsi
yang berada di luar pulau Jawa dan Bali sedangkan provinsi dengan AI tertinggi
umumnya dari Pulau Jawa dan Bali. AK rendah di pulau Jawa dan Bali bila
dibandingkan dengan di luar pulau Jawa ini kemungkinan karena pelayanan medis
dan akses ke pelayanan kesehatan lebih baik, serta tingkat pengetahuan
masyarakat tentang DBD di pulau Jawa dan Bali lebih tinggi. Oleh karena itu
upaya promosi kesehatan dan peningkatan akses dan pelayanan medis perlu
difokuskan pada daerah di luar pulau Jawa dan Bali.
1. Kasus penyakit DBD
Bedasarkan Umur
Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di
suatu antara lain faktor penderita (host), tersangka vektor, kondisi
lingkungan, tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku serta mobilitas penduduk,
yang berbeda –beda untuk setiap daerah dan berubah – ubah dari waktu ke waktu
(Paramita, dkk. 2010).
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa kasus penyakit DBD
berdasarkan umur jumlah penderita DBD tertinggi pada kelompok umur 1-14 tahun
sebanyak 80% sedangkan pada kelompok umur < 1 dan >54 tahun tidak ada
penderita DBD. Bila dibandingkan dengan kelompok umur > 45 tahun, umur
<12 tahun berisiko 16,148 kali terkena DBD. Kondisi kerja lebih banyak duduk
diam dalam gedung berisiko terkena DBD 4,930 kali dibandingkan di lapangan.
Kondisi kerja berkeliling dalam gedung 15,719 kali berisiko terkena DBD
daripada di lapangan.
Selain itu kelompok umur 1-14 tahun yang masih termasuk
kategori anak-anak lebih rentang terkena DBD karena Daya tahan tubuh anak usia
ini memang belum sekuat orang dewasa. Nyamuk Aedes aegypti, terutama betina
dewasa, paling hobi menggigit pada pagi dan siang hari. (Nyamuk betina perlu
darah untuk bertahan hidup dan berkembang biak.) Padahal, balita masih
perlu tidur atau anak sekolah sedang belajar di kelas pada
jam-jam tersebut. Nyamuk DBD memang senang bersarang di tempat lembab, gelap,
dan bau pada manusia. Sedangkan kelompok umur lain yang lebih tua, misalnya
kelompok umur di atas 18 tahun, yang mungkin sudah tidak bersekolah tetapi
mungkin sudah bekerja, pendidikannya dapat bervariasi. Ada yang memiliki
pendidikan tinggi karena sudah menyelesaikan semua tingkat pendidikan, tapi ada
juga yang memiliki pendidikan rendah karena tidak tamat sekolah atau bahkan
tidak bersekolah. Sedangkan pekerjaan dan kondisi kerja, meskipun keduanya
berkaitan satu sama lain, tetapi tidak memiliki hubungan yang sama dengan
kejadian DBD. Pekerjaan sangat bervariasi, sedangkan kondisi kerja memiliki
klasifikasi yang lebih sedikit dan lebih jelas. Beberapa pekerjaan yang berbeda
mungkin memiliki kondisi kerja yang sama, misalnya ibu rumah tangga, pegawai
kantor, penjaga toko dan pelajar.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada responden
yang dijadikan sebagai sampel adalah orang tua yang 2 anaknya pernah mengalami
DBD, penyakit DBD sudah terulang yang kedua kalinya sebelumnya terjadi 4 tahun
yang lalu namun yang ke 2 terjadi pada tahun 2014, dimana setelah anak yang
tertuanya sembuh dari DBD 3 hari kemudian saudaranya yang mengalami DBD.
2. Kasus Penyakit DBD
Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu aspek yang dapat
diperhitungkan terhadap kejadian suatu penyakit. Terdapat beberapa jenis
penyakit yang hanya diderita oleh satu jenis kelamin saja, hal ini disebabkan
karena paparan terhadap agent dari setiap jenis kelamin berbeda sehingga jenis
kelamin sangat mempengaruhi penyebaran suatu masalah kesehatan. Meskipun
demikian secara teoritis maupun kenyataan dilapangan bahwa jenis kelamin
tertentu tidak identik dengan terserangnya penyakit tertentu karena hal
tersebut erat kaitannya dengan pebedaan derajat kekebalan yang dipengaruhi oleh
variasi keterpaparan dengan agent.
Adanya kecenderungan pada satu jenis kelamin terhadap
timbulnya satu penyakit biasanya berhubungan dengan terjadinya kontak oleh
individu atau terdapatnya faktor determinan penyebab penyakit yang lebih
cenderung pada jenis kelamin tersebut. Salah satu jenis penyakit yang kedua
jenis kealamin dapat turut adil terhadap kontaknya vektor adalah malaria dimana
baik perempuan maupun laki-laki juga dapat mengalami penyakit ini namun keadaan
tertentu akan menunjukkan lebih dominan pada jenis kelamin tertentu. Tabel 4.2
menunjukkan bahwa kasus penyakit DBD berdasarkan Jenis kelamin laki-laki
sebanyak 56,7% sedangkan jenis kelamin perempuan sebanyak 43,3%. Dengan demikian
jumlah kejadian DBD lebih banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki
dibandingkan jenikelamin perempuan.
Peningkatan jumlah penderita tersebut disebabkan karena
kebiasaan masyarakat yang berada didalam rumah saat tidur tidak menggunakan
kelambu atau menggunakan obat nyamuk, masyarakat juga kebanyakan melakukan
aktifitasnya diluar rumah dan tingkat kesadaran masyarakan masih rendah
sehingga menyebabkan besarnya keterpaparan terhadap gigitan nyamuk. Laporan ini
sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Ratag B, dkk. 2013 yaitu
jenis kelamin dengan persentase yang paling banyak adalah laki-laki 51,04% dan
perempuan 48,96%.
3. Kasus Penyakit DBD
Berdasarkan Lingkungan
Daerah tempat terjangkitnya penyakit DBD berdasarkan keadaan
geografis antara lain seperti antara lain seperti daerah dataran, pegunungan,
dan pesisir pantai. Hal ini erat hubunganya dengan kebiasaan vector mencari
darah. Namun kemungkinan besar jumlah penderita jumlah lebih banyak terdapat
didaerah dataran dan pesisir pantai. Hal ini di sebabkan oleh karena jumlah
penduduk yang berada didaerah tersebut lebih banyak dari pada daerah
pegunungan.
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa kasus penyakit DBD
berdasarkan lingkungan jumlah kasus tertinggi terdapat pada lingkungan Maccini
baji sebanyak 36,7% sedangkan terendah di lingkungan soreang sebanyak
3,3%. Maccini baji merupakan lingkungan yang ada di kecamatan lau dengan jumlah
penderita DBD tertinggi.
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan
penting terhadap kejadian suatu penyakit terutama DBD, bebasnya lingkungan dari
yang bisa memicu berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti. Kebersihan
lingkungan dari kaleng/ban bekas, tempurung, dan lain-lain juga merupakan
faktor terbesar terjadinya DBD. Dan berdasarkan observasi dan wawancara yang
dilakukan di lokasi yang Maccini Ayo menunjukkan bahwa di lingkungan maccini
ayo belum bebas dari sampah dan barang bekas seperti kaleng, dan berdasar
wawancara yang dilakukan pada orang tua anak yang penyah menderita DBD
mengatakan bahwa mereka membuang sampah di pasar dan jarak pasar ada di tengah
pemukiman warga, tidak menggunakan kelambu, sedangkan observasi yang dilakukan
di sekitar rumah banyak penampungan air yang tidak ada penutupnya.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1.
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus dari golongan Arbovirus yang ditandai dengan demam tinggi mendadak
tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2‐7 hari.
2.
Dasar-Dasar Hukum
Surveilens DBD
a.
UU Nomor 4 tahun 1984
tentang Wabah Penyakit Menular
b.
Undang Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan
c.
PP Nomor 40 Tahun 1991
tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular
d.
PP Nomor 25 tahun 2000
tentang kewenangan pemerintah dan pemerintah propinsi sebagai daerah otonom
e.
Permenkes Nomor
560/Menkes/Per/VIII/1984 tentang jenis penyakit tertentu yang dapat menimbulkan
wabah
f.
Permenkes Nomor
949/Menkes/SK/VIII/2004 tentang pedoman penyelenggaraan sistem kewaspadaa dini
kejadian luar biasa (KLB)
g.
Permenkes Nomor
356/Menkes/PER/IV/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan
Pelabuhan
h.
Kepmenkes Nomor
715/Menkes/SK/V/2003 tentang persyaratan Hygiene Sanitasi Jasa Boga
i.
Kepmenkes Nomor
1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Kesehatan
j.
Kepmenkes
Nomor/1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi
k.
Penyakit Menular dan
Penyakit Tidak Menular Terpadu
3.
Bentuk-bentuk Surveilans
a. Terdapat lima jenis dari surveilans
yaitu sebagai berikut :
Surveilans pasif, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari laporan bulanan sarana pelayanan di daerah.
Surveilans pasif, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari laporan bulanan sarana pelayanan di daerah.
b. Surveilans aktif, yaitu pengumpulan data
yang dilakukan secara langsung untuk mempelajari penyakit tertentu dalam waktu
yang relatif singkat dan dilakukan oleh petugas kesehatan secara teratur
seminggu sekali atau dua minggu sekali untuk mencatat ada atau tidaknya kasus
baru penyakit tertentu.
c. Surveilans menyeluruh, yaitu pengumpulan
data yang dilakukan dalam batas waktu tertentu diberbagai bidang agar dapat
mewakili populasi yang diteliti dalam sebuahnegara.
d. Surveilans sentinel, yaitu pengumpulan
data yang dilakukan terbatas pada bidang-bidang tertentu. Survei ini tidak
dapat digunakan dalam sebuah populasi karena dianggap tidak mewakili sebuah
kelompok populasi, akan tetapi dapat digunakan untuk memonitor tren penyakit
dan dalam mengumpulkan informasi yang lebih terperinci.
e. Surveilans berdasarkan kondisi masyarakat,
sarana dan prasarana serta laboratorium kesehatan termasuk pelaporan yang
dilakukan oleh masyarakat, fasilitas kesehatan dan laboratorium secara
berturut-turut.
4. Upaya yang paling tepat untuk mencegah demam
berdarah adalah membasmi jentik-jentiknya ini dengan cara sebagai
berikut :
a. Bersihkan ( kuras ) tempat
penyimpanan air (seperti bak mandi/WC, drum dll) seminggu sekali.
b. Tutuplah kembali tempayan rapat-rapat setelah
mengambil airnya, agar nyamuk Demam berdarah tidak dapat masuk dan bertelur
disitu.
c. Gantilah air di vas bunga dan pot tanaman air
setiap hari
d. Kubur atau buanglah sampah pada tempatnya,
plastik dan barang-barang bekas yang bisa digenangi air hujan
5.2 Saran
1. Setiap
individu sebaiknya mengerti dan memahami bahaya dari penyakit DBD tersebut, sehingga
setiap individu tersebut bisa lebih merasa khawatir dan mampu menjaga diri dan
lingkungannya dari kemungkinan terserangnya demam berdarah.
2. Perlunya
digalakkan Gerakan 3 M plus,tidak hanya bila terjadi wabah tetapi
harusdijadikan gerakan nasional melalui pendekatan masyarakat.
3. Early
Warning Outbreak Recognition System (EWORS) perlu dilakukan secara berdaya
guna dan berhasil guna.
4. Segenap
pihak yang terkait dapat bekerja sama untuk mencegah DBD
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, dedi dkk. 2013. Pilar dasar ilmu kesehatan masyarakat.
Yogyakarta. Nuha medika; hlm 103
Anonym. 2012. Musim Hujan HatiHati Demam Berdarah.http://rakyatsulsel.com/musim-hujan-hati-hati-demam-berdarah.html diakses pada tanggal 10 Januari 2015
Kementrian Kesehatan RI, 2010, “Buletin jendela Epidemiologi Topik Utama
Demam Berdarah Dongue” , Vol.02, ISSN-2087-1546.
Depkes, RI. Pengertian DBD. Tahun 2005.
Husada. 2013. Pengantar Kesehatan Makassar.http://diannaputri.blogspot.com/p/blog-page_2.html. Di akses pada tanggal 11 Januari 2014.
Masriadi. 2014. Epidemiologi penyakit menular. Jakarta. Rajagrafindo persada; hlm
109
Paramita, dkk. 2010. Faktor
Risiko Demam Berdarah Dengue Di KecamatanWonosari Kabupaten Gunungkidul
Provinsi DIY Tahun 2010. FKIK UNSOED.
Ratang, B, dkk. 2013. Analisis Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Pada Pasien Anak Di Irina E
Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal Kesehatan.Halaman 3.
Rochadi, R Kintoko. 2014. Pengaruh
Partisipasi Masyarakat terhadap Pencegahan Demam Berdarah Dengue di Wilayah
Kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai Tahun 2013.J. Kesehatan Masyarakat
USU, hlm 1-2
0 Komentar