RESUME
GIZI KESEHATAN MASYARAKAT
Disusun
oleh :
Ni Putu Susianti
N 201 16 031
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
2018
1.
Pengertian
KVA
Kurang vitamin A (KVA) adalah salah satu masalah gizi yang mengganggu
kondisi kesehatan akibat kurangnya konsumsi makanan, terutama makanan sumber vitamin A.
Kondisi ini menyebabkan peningkatan yang bermakna terhadap morbiditas dan
mortalitas pada anak-anak serta ibu hamil. Penentuan status vitamin A penting
untuk melihat kadar vitamin A di dalam tubuh seseorang. Tanumihardjo, 2004 di
kutip dalam (Permaesih, 2008).
Kurangnya konsumsi makanan (< 80 % AKG) yang berkepanjangan akan menyebabkan anak menderita KVA, yang umumnya
terjadi
karena kemiskinan, dimana keluarga tidak mampu memberikan makan
yang cukup.
Kurang vitamin A dapat menyebabkan balita menjadi balita rentan terhadap penyakit infeksi (Baliwati dkk, 2010).
Kurang vitamin A dapat menyebabkan balita menjadi balita rentan terhadap penyakit infeksi (Baliwati dkk, 2010).
2.
Penyebab Masalah KVA
Penyebab
kekurangan vitamin A tidak hanya ditimbulkan dari faktor
kesehatan saja, tetapi juga faktor lainnya. Sediaoetama (2008) merangkum factor penyebab tersebut menjadi bagan berikut :
kesehatan saja, tetapi juga faktor lainnya. Sediaoetama (2008) merangkum factor penyebab tersebut menjadi bagan berikut :
Penyebab
kekurangan vitamin A pada balita terbagi menjadi dua faktor,
yaitu faktor penyebab langsung dan tidak langsung. Faktor penyebab langsung
adalah kurangnya asupan makanan sumber vitamin A dan pro-vitamin A
(karoten), hal ini biasanya disebabkan karena kebiasaan balita yang susah untuk menerima makanan baru, terutama sayur dan buah yang banyak mengandung vitamin; tidak diberi kolostrum sesaat setelah melahirkan dan disapih lebih awal; tidak memperoleh ASI; pemberian makanan artifisial yang kurang vitamin A, sedangkan faktor penyebab tidak langsungnya adalah kemiskinan; ketersediaan pangan sumber vitamin A; sosial budaya; pendidikan orang tua; pendapatan keluarga; jumlah anak dalam keluarga; pola asuh terhadap anak; pelayanan kesehatan (Sediaoetama, 2008).
yaitu faktor penyebab langsung dan tidak langsung. Faktor penyebab langsung
adalah kurangnya asupan makanan sumber vitamin A dan pro-vitamin A
(karoten), hal ini biasanya disebabkan karena kebiasaan balita yang susah untuk menerima makanan baru, terutama sayur dan buah yang banyak mengandung vitamin; tidak diberi kolostrum sesaat setelah melahirkan dan disapih lebih awal; tidak memperoleh ASI; pemberian makanan artifisial yang kurang vitamin A, sedangkan faktor penyebab tidak langsungnya adalah kemiskinan; ketersediaan pangan sumber vitamin A; sosial budaya; pendidikan orang tua; pendapatan keluarga; jumlah anak dalam keluarga; pola asuh terhadap anak; pelayanan kesehatan (Sediaoetama, 2008).
3.
Prevalensi KVA
Survei nasional Xerophtalmia 1978 menemukan prevalensi X Ib (Bitot
spot) pada anak Balita 1,34%. Sekitar 14 tahun kemudian, yakni pada tahun 1992,
prevalensi xerophtalmia dapat diturunkan menjadi 0,35%, Angka ini lebih rendah
dari kriteria yang ditetapkan WHO sebagai masalah kesehatan masyarakat yakni
Xlb > 0,5% (Herman, 2007).
Sumber
: Herman, S. (2007). Masalah kurang vitamin a (kva) dan prosper
penanggulangannya
Jika pada survei tahun 1992, masih ditemukan 50% anak balita
dengan serum retinol < 20ug/dl, maka data mutakhir dari survei gizi mikro di
tujuh provinsi keadaannya sudah jauh berkurang. Prevalensi anak balita dengan
serum retinol < 20ug/dl diketemukan tertinggi di Provinsi Bali yakni 16,3%
yang berarti sekitar sepertiga dari angka tahun 1992. Sementara itu prevalensi
terendah diketemukan di Provinsi Sumatera Selatan yakni 8,7% atau sekitar
seperenam dari angka tahun 1992 (Tabel 2). Perkembangan ini sudah barang tentu
menggembirakan, karena KVA pada tingkat sub klinis berhasil diturunkan dengan
cukup bermakna, dan prevalensi Xerophtalmia secara umum juga rendah. Tinggjnya
proporsi anak dengan serum retinol > 20ng/dl kemungkinan karena cakupan
distribusi kapsul vitamin A 200.000 SI cukup tinggi yakni rata-rata 87% dengan
kisaran 79,5% sampai 92,6% (Herman, 2007).
Masalah vitamin A pada balita secara klinis bukan lagi masalah
kesehatan
masyarakat (prevalensi xeropthalmia < 0,5%). Hasil studi masalah gizi mikro di 10 kota pada 10 provinsi tahun 2006, diperoleh prevalensi xeropthalmia pada balita 0,13%, sedangkan hasil survey vitamin A pada tahun 1992 menunjukkan prevalensi xeropthalmia sebesar 0,33% (Dinkes Kabupaten Banggai, 2013).
masyarakat (prevalensi xeropthalmia < 0,5%). Hasil studi masalah gizi mikro di 10 kota pada 10 provinsi tahun 2006, diperoleh prevalensi xeropthalmia pada balita 0,13%, sedangkan hasil survey vitamin A pada tahun 1992 menunjukkan prevalensi xeropthalmia sebesar 0,33% (Dinkes Kabupaten Banggai, 2013).
4.
Indikator KVA
Penurunan cadangan vitamin A dalam tubuh merupakan proses yang
berlangsung lama, dimulai dengan habisnya persediaan vitamin A dalam hati,
kemudian menurunnya kadar vitamin A dalam plasma, dan baru kemudian timbul
disfungsi retina, disusul dengan perubahan jaringan epitel. Kadar vitamin A
dalam plasma tidak merupakan kekurangan vitamin A, apabila sudah terdapat
kelainan mata, maka kadar vitamin A serum sudah sangat
rendah (µg/100ml), begitu juga kadar RBP (<20µg/100ml) konsentrasi vitamin A dalam hati merupakan indikasi yang baik untuk menentukan status vitamin A. Akan tetapi biopsi hati merupakan tindakan yang mengandung risiko bahaya. Pada umumnya konsentrasi vitamin A penderita KEP rendah yaitu <15µg/gram jaringan hepar (Kemenkes RI, 2017).
rendah (µg/100ml), begitu juga kadar RBP (<20µg/100ml) konsentrasi vitamin A dalam hati merupakan indikasi yang baik untuk menentukan status vitamin A. Akan tetapi biopsi hati merupakan tindakan yang mengandung risiko bahaya. Pada umumnya konsentrasi vitamin A penderita KEP rendah yaitu <15µg/gram jaringan hepar (Kemenkes RI, 2017).
Batasan dan Interpretasi pemeriksaan kadar vitamin A dalam darah
adalah:
Sumber : Kemenkes RI, 2017
Penilaian status vitamin A diperlukan sebab penurunannya dalam
hati menurunkan kadarnya dalam plasma sehingga bisa menyebabkan disfungsi
retina. Gejala subklinis KVA yaitu gangguan sistem imun dengan angka infeksi
yang makin meningkat. Gejala klinisnya yaitu xerophtalmia (dapat menyebabkan
cirrhosis conjunctiva dengan tanda-tanda sering mengedip disertai bercak bitot)
sehingga tampak busa yang menghilang bila dihapus dan muncul lagi. Status
vitamin A diperiksa di dalam serum (serum retinol dan retinol binding protein).
Penilaian status KVA menggunakan indikator plasma dan liver vitamin A (Kemenkes
RI, 2017).
5.
Gambaran Klinis KVA, Konsekuensi KVA, Etiologi KVA
Kurang vitamin A akan mengakibatkan penurunan daya tahan
tubuh terhadap penyakit yang berpengaruh pada kelangsungan hidup anak. Penanggulangan masalah kurang vitamin A saat ini bukan hanya untuk mencegah kebutaan, tetapi juga dikaitkan dengan upaya memacu pertumbuhan dan kesehatan anak guna menunjang penurunan angka kematian bayi dan berpotensi terhadap peningkatan produktifitas kerja orang dewasa. Masalah KVA dapat diibaratkan sebagai fenomena “gunung es” yaitu masalah Xerophthalmia yang hanya sedikit tampak dipermukaan. KVA adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel dari organ-organ seluruh tubuh, termasuk paruparu, usus, mata, dan organ lain. Akan tetapi gambaran yang karakteristik langsung terlihat pada mata (Kemenkes RI, 2017).
tubuh terhadap penyakit yang berpengaruh pada kelangsungan hidup anak. Penanggulangan masalah kurang vitamin A saat ini bukan hanya untuk mencegah kebutaan, tetapi juga dikaitkan dengan upaya memacu pertumbuhan dan kesehatan anak guna menunjang penurunan angka kematian bayi dan berpotensi terhadap peningkatan produktifitas kerja orang dewasa. Masalah KVA dapat diibaratkan sebagai fenomena “gunung es” yaitu masalah Xerophthalmia yang hanya sedikit tampak dipermukaan. KVA adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel dari organ-organ seluruh tubuh, termasuk paruparu, usus, mata, dan organ lain. Akan tetapi gambaran yang karakteristik langsung terlihat pada mata (Kemenkes RI, 2017).
Tanda-tanda dan gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi
WHO/USAID UNICEF /HKI/IVACG 1996 di kutip dalam (Depkes
RI, 2003) sebagai berikut:
·
XN : Buta senja
·
XIA : Xerosis konjungtiva (kekeringan pada selaput lendir mata)
·
XIB : Xerosis konjungtiva disertai bercak bitot
·
X2 : Xerosis kornea (kekeringan pada selaput bening mata)
·
X3A : Keratomalasia atau ulserasi kornea (borok kornea) kurang dari
1/3 permukaan kornea
· XS : Jaringan parut
kornea (sikatriks/scar)
· XF : Fundus
xeroftalmia, dengan gambaran seperti “cendol”
XN, XIA, XIB, X2 biasanya dapat sembuh kembali normal dengan
pengobatan yang baik. Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat
darurat yang harus segera diobati karena dalam beberapa
hari bisa berubah menjadi X3. X3A dan X3B bila diobati dapat sembuh
tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat menyebabkan kebutaan total
bila lesi (kelainan) pada kornea cukup luas sehingga
menutupi seluruh kornea (optic zone cornea).
1.
Buta
senja = Rabun Senja = Rabun Ayam= XN
a. Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel
batang retina.
b. Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit
beradaptasi di ruang yang
remang-remang setelah lama berada di cahaya terang
remang-remang setelah lama berada di cahaya terang
c. Penglihatan menurun pada senja hari, dimana
penderita tak dapat melihat di lingkungan yang kurang cahaya, sehingga disebut
buta senja.
Untuk mendeteksi apakah anak menderita buta
senja dengan cara
a. Bila anak sudah dapat berjalan, anak tersebut
akan membentur/ menabrak benda didepannya, karena tidak dapat melihat.
b. Bila anak belum dapat berjalan, agak sulit
untuk mengatakan anak tersebut buta senja. Dalam keadaan ini biasanya anak diam
memojok bila di dudukkan ditempat kurang cahaya karena tidak dapat melihat
benda atau makanan di depannya.
2.
Xerosis
konjungtiva = XIA
Tanda-tanda :
a. Selaput lendir bola mata tampak kurang
mengkilat atau terlihat sedikit kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan
permukaan kasar dan kusam.
b. Orang tua sering mengeluh mata anak tampak
kering atau berubah warna kecoklatan.
3.
Xerosis
konjungtiva dan bercak bitot = X1B
Tanda-tanda :
a.
Tanda-tanda xerosis kojungtiva (X1A) ditambah bercak bitot yaitu bercak putih
seperti busa sabun atau keju terutama di daerah celah mata sisi luar.
b.
Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang merupakan tanda
khas pada penderita xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai kriteria penentuan
prevalensi kurang vitamin A dalam masyarakat.
Dalam keadaan berat :
a. Tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan
konjungtiva.
b. Konjungtiva tampak menebal, berlipat-lipat
dan berkerut.
c. Orang tua mengeluh mata anaknya tampak
bersisik
4.
Xerosis
kornea = X2
Tanda-tanda :
a.
Kekeringan pada konjungtiva berlanjut sampai kornea.
b.
Kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
c.
Keadaan umum anak biasanya buruk (gizi buruk dan menderita, penyakit
infeksi dan sistemik lain)
infeksi dan sistemik lain)
6. Keratomalasia dan ulcus kornea = X3A, X3B
Tanda-tanda
a. Kornea
melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus.
b. Tahap
X3A : bila kelainan mengenai kurang dari 1/3 permukaan kornea.
c. Tahap
X3B : Bila kelainan mengenai semua atau lebih dari 1/3 permukaan
kornea.
kornea.
d. Keadaan
umum penderita sangat buruk.
e. Pada
tahap ini dapat terjadi perforasi kornea (kornea pecah)
7. Xeroftalmia scar (XS) = sikatriks (jaringan
parut) kornea
Kornea mata tampak
menjadi putih atau bola mata tampak mengecil. Bila luka pada kornea telah
sembuh akan meninggalkan bekas berupa sikatrik atau jaringan parut. Penderita
menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok
kornea.
8. Xeroftalmia Fundus (XF)
Dengan opthalmoscope pada fundus tampak
gambar seperti cendol
9.
Pencegahan dan Penanggulangan KVA
a.
Pencegahan
Menurut Depkes RI
(2003), Pencegahan KVA yaitu :
1.
Mengenal wilayah yang
berisiko mengalami xeroftalmia (faktor social budaya dan lingkungan dan
pelayanan kesehatan, faktor keluarga dan faktor individu)
2.
Mengenal tanda-tanda kelainan
secara dini
3.
Memberikan vitamin A dosis
tinggi kepada bayi dan anak secara periodik, yaitu untuk bayi diberikan setahun
sekali pada bulan Februari atau Agustus (100.000 SI), untuk anak balita
diberikan enam bulan sekali secara serentak pada bulan Februari dan Agustus
dengan dosis 200.000 SI.
4.
Mengobati penyakit penyebab
atau penyerta
5.
Meningkatkan status gizi,
mengobati gizi buruk
6.
Penyuluhan keluarga untuk
meningkatkan konsumsi vitamin A / provitamin A secara terus menerus.
7.
Memberikan ASI Eksklusif
8.
Pemberian vitamin A pada ibu
nifas (< 30 hari) 200.000 SI
9.
Melakukan imunisasi dasar
pada setiap bayi
Mengkonsumsi makanan yang mengandung
vitamin A, Meski vitamin A hanya terdapat pada makanan hewani yang relatif
mahal. tetapi masyarakat dapat memanfaatkan karotenoid yang banyak terdapat
dalam sayur dan buah. Kembali masalahnya perilaku atau kebiasaan mengonsumsi buah
juga belum membudaya, sementara kebiasan mengonsumsi sayur umumnya sudah
membudaya di kalangan masyarakat , tetapi besar porsi serta frekuensi
konsumsinya masih perlu ditingkatkan (Kiptiyah & Martufi, 2003).
b.
Penanggulangan
Program penanggulangan masalah KVA
merupakan salah satu program perbaikan gizi masyarakat yang dilaksanakan secara
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Kegiatan promotif dapat
dilakukan melalui promosi atau penyuluhan untuk meningkatkan konsumsi makanan
kaya vitamin A dan secara preventif dapat dilakukan dengan suplementasi kapsul
Vitamin A dosis tinggi dan fortifikasi bahan makanan dengan Vitamin A. Deteksi
dini dan pengobatan kasus Xeroftalmia adalah merupakan kegiatan secara kuratif yang
bertujuan rehabilitatif untuk mencegah terjadinya dampak lebih lanjut KVA
kebutaan (Depkes RI, 2003).
Upaya program penanggulangan KVA dengan
suplemen kapsul vitamin A dosis tinggi 200.000 SI (merah) sebanyak 2 kali
setahun pada bulan Februari dan Agustus yang ditujukan kepada anak balita (1-5
tahun) dan 1 kapsul pada ibu nifas (< 30 hari sehabis melahirkan). sasaran
diperluas kepada bayi umur 6 – 11 bulan dengan pemberian kapsul vitamin A dosis
100.000 SI (biru) (Depkes RI, 2003).
DAFTAR PUSTAKA
Baliwati.Y.F.dkk. 2010. Pengantar Pangan Dan Gizi. Penebar
Swadaya. Jakarta
Herman, S. (2007). Masalah kurang vitamin a (kva) dan prosper
penanggulangannya, XVII, 40–44.
Kiptiyah, N. M., & Martufi, S. (2003). KEKURANGAN VITAMIN A PADA
KELOMPOK BAY1 DAN FAKTOR YANG BERHUBUNGAN Dl KABUPATEN BOGOR, 26(2).
Permaesih, D. (2008). Penilaian status vitamin A, 31(2), 92–97.
Sediaoetama AD. 2008. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa Dan
Profesi.
Jilid 1. Jakarta:
Penerbit Dian Rakyat.
Penerbit Dian Rakyat.
LAMPIRAN
0 Komentar