Review Jurnal Nasional
Gizi Kesehatan
Masyarakat
“Defisiensi Vitamin A Dan Zinc
Sebagai faktor
Risiko Terjadinya Stunting Pada Balita Di
Nusa Tenggara Barat”
Risiko Terjadinya Stunting Pada Balita Di
Nusa Tenggara Barat”
Nama : Christian Sepriadi
NIM
: N 201 16 065
Kelas
: A
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
2018
DEFISIENSI VITAMIN A DAN ZINC
SEBAGAIFAKTOR RISIKO TERJADINYA
STUNTING PADA BALITA DI NUSA TENGGARA BARAT
Taufiqurrahman1, Hamam Hadi2, Madarina Julia3,
Susilowati Herman3
Media Peneliti. dan Pengembang. Kesehatan. Volume XIX Tahun 2009,
Suplemen II
Abstract
Anak-anak berusia 1 - 5 tahun sering menghadapi masalah gizi seperti kurang
gizi, vitamin A dan seng defisiensi, anemia, stunting dan indeks perkembangan mental
yang rendah (MDI). Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan
dan menurunnya transportasi dan mobilitas zinc di jantung sementara itu
diperlukan zinc di retinol yang mengikat sintesis protein. Jika defisiensi
berlangsung lama dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan seperti yang
dimanifestasikan dalam insiden pengerdilan. Untuk mempelajari kekurangan
vitamin A dan zinc sebagai faktor risiko untuk kejadian stunting di antara
balita di Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini adalah observasional analitik
dengan pendekatan cross sectional Desain. Subyek penelitian adalah 327 balita
dari 6 - 59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Status nutrisi dinilai
melalui pengukuran anthopometry, kadar serum retinol menggunakan HPLC, zinc tingkat
serum menggunakan AAS dan hemoglobin menggunakan hemoCue. Data karakteristik
dan pemeliharaan individu Pola diperoleh melalui wawancara dan asupan gizi
diukur menggunakan recall 2 x 24 jam. Data analisis menggunakan teknik bivariat
untuk variabel yang berkaitan dengan pengerdilan, uji chi square untuk data
kategori, independen t-test untuk rasio dan uji regresi logistik untuk mengukur
risiko beberapa variabel secara bersamaan terkait dengan kejadian stunting.
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada perbedaan umur antara kebutuhan
balita yang stunted dan normal (p <0,05). Di kelompok balita yang tidak lagi
disusui ada
perbedaan asupan zinc antara balita yang stunting dan yang normal (p
<0,05). Hasil multivariat Analisis menunjukkan bahwa balita yang tidak lagi
disusui memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk mengalami stunting setelahnya kontrol
usia, status vitamin A dan seng. Efeknya diubah oleh usia dan menyusui. Disana
ada tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A dan seng di
antara balita adalah faktor risiko untuk insidensi stunting. Variabel yang
secara individual maupun simultan signifikan untuk kejadian tersebut stunting
adalah status menyusui. Anak balita yang tidak mendapat ASI memiliki risiko 2
kali lebih besar untuk menjadi kerdil dibandingkan dengan mereka yang mendapat
ASI, dan efeknya diubah oleh usia dan menyusui.
Kata kunci: Stunting, Vitamin A, Zinc, Retinol Serum, Zinc Serum,
Hemoglobin, Status Menyusui
A.
Latar
Belakang
Defisiensi vitamin A
berpengaruh terhadap sintesis protein, sehingga juga mempengaruhi pertumbuhan
sel. Karena itulah maka, anak yang menderita defisiensi vitamin A akan
mengalami kegagalan pertumbuhan. Masalah defisiensi vitamin A berdasarkan
Survey Nasional oleh Hellen Keller International (HKI) tahun 1992 dilaporkan,
bahwa masih ditemukan 50% anak
balita mempunyai kadar serum retinol <20 ug/dl. Survey tahun 1995 di Pulau Jawa menunjukkan bahwa prevalensi anak prasekolah yang mempunyai kadar serum retinol <20 ug/dl sebesar 58,41%, sedangkan survey nasional
tahun 2006 ditemukan 14,6%.
balita mempunyai kadar serum retinol <20 ug/dl. Survey tahun 1995 di Pulau Jawa menunjukkan bahwa prevalensi anak prasekolah yang mempunyai kadar serum retinol <20 ug/dl sebesar 58,41%, sedangkan survey nasional
tahun 2006 ditemukan 14,6%.
Kegagalan pertumbuhan
pada anak, selain disebabkan oleh defisiensi vitamin A, juga berhubungan dengan
defisiensi zinc. Dikatakan bahwa Manifestasi dari defisiensi zinc adalah
gangguan pertumbuhan linier pada balita yang ditunjukkan dengan status stunting.
Survey nasional pada skala kecil di Nusa Tenggara Timur (NTT), Pulau Lombok
dan Pulau Jawa, dilaporkan bahwa prevalensi defisiensi zinc sekitar
6-39%. Penelitian beberapa ahli menyebutkan angka defisiensi zinc pada
anak anak di Indonesia, 17% bayi dengan status marginal defisiensi zinc, tetapi
studi tahun 2005
di Kedungjati-Grobogan pada anak SD, ditemukan anak yang mengalami defisiensi zinc sebesar 33,3%. Prevalensi yang hampir sama
juga ditemukan pada survey nasional tahun 2006,
di mana prevalensi defisiensi zinc pada balita
sebesar 31,6%(4).
di Kedungjati-Grobogan pada anak SD, ditemukan anak yang mengalami defisiensi zinc sebesar 33,3%. Prevalensi yang hampir sama
juga ditemukan pada survey nasional tahun 2006,
di mana prevalensi defisiensi zinc pada balita
sebesar 31,6%(4).
Kurang gizi mikro
(vitamin A dan zinc)
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian kurang gizi kronis (stunting) Studi di Surabaya tahun 2008, menemukan bahwa di
antara balita yang kadar retinol tidak normal, ditemukan status gizi (TB/U) pendek sebesar 33,3% dan sangat pendek 26,7%.
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian kurang gizi kronis (stunting) Studi di Surabaya tahun 2008, menemukan bahwa di
antara balita yang kadar retinol tidak normal, ditemukan status gizi (TB/U) pendek sebesar 33,3% dan sangat pendek 26,7%.
Prevalensi stunting pada
anak balita di Indonesia menunjukkan
gambaran yang statis dari tahun 1990 s/d 2001 yaitu 44,5% (Indonesia
Bagian Timur, 1990), 41,4% (Survey VitaminA, 1992), 45,9% (Survey Kesehatan Ibu dan Anak, 1995), 45,6% (Survei NSS, 1999f:9), lebih tinggi
dibandingkan dengan Philipina yang menunjukkan prevalensi stunting 34% (1977-1988) dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 39,1%. Survey nasional tahun 2006 ditemukan stunting sebesar 36,2%. Sementara itu laporan
tahunan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dilaporkan bahwa prevalensi stunting yaitu 42,43% (2005) dan 31,76% (2006). Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk mempelajari tentang defisiensi vitamin A dan zinc
sebagai faktor risiko terjadinya stunting pada balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah defisiensi vitamin A dan zinc sebagai faktor risiko kejadian stunting di Provinsi NTB.
Bagian Timur, 1990), 41,4% (Survey VitaminA, 1992), 45,9% (Survey Kesehatan Ibu dan Anak, 1995), 45,6% (Survei NSS, 1999f:9), lebih tinggi
dibandingkan dengan Philipina yang menunjukkan prevalensi stunting 34% (1977-1988) dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 39,1%. Survey nasional tahun 2006 ditemukan stunting sebesar 36,2%. Sementara itu laporan
tahunan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dilaporkan bahwa prevalensi stunting yaitu 42,43% (2005) dan 31,76% (2006). Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk mempelajari tentang defisiensi vitamin A dan zinc
sebagai faktor risiko terjadinya stunting pada balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah defisiensi vitamin A dan zinc sebagai faktor risiko kejadian stunting di Provinsi NTB.
B.
Metode
Penelitian ini
merupakan bagian dari penelitian survey "Studi Masalah Gizi Mikro di
Indonesia, Perhatian Khusus pada Kurang Vitamin A, Anemia dan Zinc" yang
dilakukan oleh Puslitbang Gizi Bogor di 10 Provinsi se Indonesia termasuk
Provinsi NTB pada bulan Maret s/d Desember 2006 dan Maret 2007. Kemudian sesuai
dengan Surat ijin Puslitbang Gizi Bogor tentang penggunaan data untuk penulisan
tesis ini, maka data dengan kajian khusus untuk wilayah NTB digunakan dalam
penelitian observasional analitik ini untuk menelaah defisiensi vitamin A dan zinc
sebagai faktor risiko terjadinya stunting pada balita.
Rancangan penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini sama yaitu cross-sectional. Subyek
penelitiannya adalah anak balita (6-59 bulan) di Provinsi NTB. Namun dari 360
balita yang diperiksa darahnya pada penelitian survey tersebut, setelah diedit
dan dicleaning, maka besar sampel yang digunakan dalam analisis penelitian
ini hanya 327 balita.
Variabel penelitian ini
meliputi variabel dependent : status stunting (indeks tinggi
badan terhadap umur atau panjang badan terhadap umur), dan variabel independent:
kadar serum retinol (ug/dL) dan kadar serum zinc (umol/L) dan
variabel bebas lain yang turut dipertimbangkan dalam analisisnya adalah umur
anak, status anemia, status menyusu dan asupan zat gizi (vitamin A, zinc dan
besi).
Pengumpulan data
identitas balita dan karakteristik responden (orang tua), pola asuh balita meliputi
umur penyapihan, pengasuh dan waktu pemberian MP-ASI, dan status menyusu
dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Pengukuran
antropometri menggunakan timbangan digital (merk SECA) dengan ketelitian
0,1 kg dan alat pengukur tinggi/panjang badan (microtoise/ lengthboard) dengan
ketelitian 0,1 cm. Pengumpulan data status vitamin A, zinc dan hemoglobin
secara biokimia, dengan cara diambil darah vena sebanyak 2 cc menggunakan
jarum kupu-kupu dan spuit 2 ml. Darah yang telah diambil dibagi dua, yaitu 0,2
cc untuk pemeriksaan hemoglobin dengan hemoCue dan 0,8 cc
digunakan untuk penentuan kadar serum retinol menggunakan High Performance
Liquid Cromathografi (HPLC) dan kadar zinc menggunakan Atomic
Absorbtion Spectrophometry (AAS). Pengukuran keduanya dilakukan di
Puslitbang Gizi Bogor. Adapun data asupan makanan vitamin A, zinc dan
besi dikumpulkan dengan menggunakan metode recall 2 x 24 jam. Prosedur
dalam penelitian survey tersebut, juga sama digunakan dalam penelitian ini
terhadap beberapa variabel yang telah dikumpulkan. Kemudian diolah dan dicleaning
sesuai dengan tujuan penelitian ini.
Data dianalisis pada
interval kepercayaan 95%. Analisis
bivariat dengan uji chi-square test dan Independent t-test. Untuk
melihat confounding factor dan efek modifikasi variabel umur anak,
status menyusu dan status anemia terhadap hubungan defisiensi vitamin A dan zinc
dengan kejadian stunting dilakukan analisis stratifikasi dengan uji chi-square
mantel haenszel, sedangkan untuk menganalisis secara bersama beberapa
faktor risiko kejadian stunting digunakan uji regresi logistik ganda.
C.
Hasil
1. Karakteristik Subjek Penelitian
Pada awal pengolahan
data penelitian dimulai, jumlah subyek adalah 360 anak, tetapi selama cleaning
data terdapat subyek yang tidak lengkap datanya terhadap beberapa variabel
yang dibutuhkan dalam penelitian sebanyak 33 anak sehingga pada akhir
pengolahan data penelitian, jumlah subyek yang dianalisis adalah 327 anak yang
terdiri dari 147 kelompok stunting dan 180 kelompok normal.
Karakteristik subyek dari kedua kelompok tersebut dapat dilihat pada Tabel.
Walaupun hampir semua
balita (89,6%) sudah mendapatkan kapsul vitamin 3-4 bulan sebelum penelitian
ini, tetapi masih ditemukan subyek penelitian dengan status gizi berdasarkan
indeks PB/U (panjang badan terhadap umur) atau TB/U (tinggi badan terhadap
umur), sebesar 44,95% stunting dan 55,05% normal. Berdasarkan indeks
BB/TB (berat badan terhadap tinggi badan) atau BB/PB (berat badan terhadap
panjang badan), menunjukkan bahwa di antara balita yang stunting hampir
semua (95,24%) status gizi normal, sedangkan berdasarkan indeks BB/U,
menunjukkan bahwa di antara balita yang stunting ditemukan gizi kurang (KEP) sebesar 52,38%, serta balita yang gizi buruk sebesar 29,93%.
menunjukkan bahwa di antara balita yang stunting ditemukan gizi kurang (KEP) sebesar 52,38%, serta balita yang gizi buruk sebesar 29,93%.
Dari 8 variabel yang
dianalisis pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa 6 variabel pada karakteristik
subyek, tidak menunjukkan hubungan yang bermakna (p>0,05), sedangkan 2
variabel yaitu umur anak dan status menyusu menunjukkan hubungan yang bermakna
(p<0,05). Dengan demikian kedua variabel tersebut dipertimbangkan dalam
setiap analisis.
Selanjutnya untuk
melihat kecenderungan kejadian stunting pada umur <12 bulan sampai
dengan > 36 bulan dapat di lihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2, dapat dilihat
bahwa semakin bertambah umur persentase kejadian stunting semakin
tinggi.
2. Hubungan antara Kadar Serum Retinol dan
Zinc dengan Kejadian Stunting
Untuk mengetahui ada
tidak hubungan antara masing-masing variabel kadar serum retinol dengan
kejadian stunting digunakan uji ttest. Pada Tabel 3 ditunjukkan
nilai mean dan hasil uji hubungan masing-masing variabel.
Dari variabel yang
dianalisis pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa untuk variabel kadar serum retinol
diperoleh mean difference (IK 95%) yang kecil antara kedua kelompok
yaitu 1,13 (-0,36;2,62) dengan nilai p=0,13 berarti pada a.=0,05, tidak
terlihat ada perbedaan yang signifikan
rata-rata kadar serum retinol antara balita yang stunting dan yang normal. Demikian juga pada variabel kadar serum zinc, diperoleh mean
difference (IK 95%) yang kecil antara kedua kelompok yaitu 0,00 (-0,02;0,04) dengan nilai p=0,55 berarti pada a = 0,05, menunjukkan tidak
ada perbedaan kadar serum zinc antara kelompok stunting dan normal.
rata-rata kadar serum retinol antara balita yang stunting dan yang normal. Demikian juga pada variabel kadar serum zinc, diperoleh mean
difference (IK 95%) yang kecil antara kedua kelompok yaitu 0,00 (-0,02;0,04) dengan nilai p=0,55 berarti pada a = 0,05, menunjukkan tidak
ada perbedaan kadar serum zinc antara kelompok stunting dan normal.
Apabila di lihat
berdasarkan stratifikasi umur dan status menyusu, maka perbedaan kadar serum retinol
antara kelompok stunting dan normal dapat di lihat pada Tabel 4.
Pada Tabel 4
menunjukkan bahwa kadar serum retinol pada semua kelompok umur dan
status menyusu, baik yang berstatus gizi stunting maupun normal memiliki
rata-rata kadar serum retinal di atas normal (>20ug/dL).
Hasil analisis
statistik menunjukkan bahwa pada umur 24-59 bulan balita dengan status menyusu
masih diberikan ASI diperoleh nilai mean difference (IK95%) kadar serum retinol
lebih besar dibandingkan balita yang masih diberikan ASI, yaitu
masing-masing 1,04 (- 5,65;7,73) pada balita yang masih diberikan ASI dan -0,38
(1,34;2,09) pada balita yang tidak diberikan ASI lagi.
Hasil analisis
statistik pada umur 6-23 bulan juga menunjukkan bahwa balita dengan status
menyusu masih diberikan ASI diperoleh nilai mean difference (IK 95%)
kadar serum retinol lebih besar dibandingkan balita yang masih diberikan
ASI, yaitu masing-masing 3,91 (-0,09;7,92) pada balita yang masih diberikan ASI
dan -0,55 (-8,09;6,98) pada balita yang tidak diberikan ASI lagi.
Untuk mengetahui
beberapa confounding factor dan efek modifikasi yang mempengaruhi
hubungan defisiensi vitamin A dan defisiensi zinc dengan kejadian
stunting dapat di lihat pada Tabel
5 dan 6.
5 dan 6.
Pada Tabel 5 terlihat
bahwa variabel umur, status menyusu dan status anemia bukan merupakan confounding
factor hubungan defisiensi vitamin A dengan kejadian stunting, karena
dari nilai OR Mantel Haenszel hampir sama dengan nilai Crude Odds
Ratio atau perbedaan selisih keduanya <20%. Namun variabel umur dan
status menyusu merupakan efek modifikasi yang memperlemah hubungan defisiensi
vitamin A dengan kejadian stunting karena nilai OR strata 1 > OR strata
2. Artinya balita yang berumur 24-59 bulan dan atau tidak diberikan ASI lagi
memiliki risiko 1,5 kali lebih besar mengalami stunting dibandingkan
balita
yang berumur 6-23 bulan dan atau masih diberikan ASI pada balita di Provinsi NTB.
yang berumur 6-23 bulan dan atau masih diberikan ASI pada balita di Provinsi NTB.
Pada Tabel 6 terlihat
bahwa variabel umur, status menyusu dan status anemia bukan merupakan confounding
factor hubungan defisiensi zinc dengan kejadian stunting, karena
dari nilai OR Mantel Haenszel hampir sama dengan nilai Crude Odds
Ratio atau perbedaan selisih keduanya <20%. Ketiga variabel tersebut bukan
merupakan efek modifikasi yang mempengaruhi hubungan defisiensi zinc dengan
kejadian stunting karena nilai OR strata 1 < OR strata 2, atau
masing-masing memiliki nilai OR mendekati 1.
3.
Analisis Multivariat Faktor Risiko dengan Kejadian Stunting
Dari 6 variabel yang
dianalisis bivariat pada Tabel 1 dan 3, hanya ada 2 variabel yang menunjukkan
pengaruh bermakna terhadap kejadian stunting yaitu umur balita dan
status menyusu.
Selanjutnya untuk
mengetahui besar pengaruh setiap variabel secara interaktif dilakukan analisis
regresi logistik berganda. Variabel yang diuji adalah variabel yang bermakna
serta diduga memiliki kontribusi penting bagi kejadian stunting. Adapun
variabel yang masuk dalam analisis regresi logistik berganda adalah umur anak,
status menyusu, status vitamin A dan status zinc (sebagai variabel independent)
dan status stunting (indeks TB/U atau PB/U) (sebagai variabel dependent).
Hasilnya dapat dilihat pada Tabel7.
Pada Tabel 7
menunjukkan bahwa hasil analisis pada model I, II dan III hanya ada 1 variabel
memiliki nilai p < 0,05; yaitu : status menyusu dengan nilai OR (IK 95%) =
2,06 (1,06 ; 4,02). Artinya balita yang tidak diberikan ASI lagi dapat meningkatkan
risiko stunting 2,06 kali lebih besar secara bermakna dibandingkan yang diberikan
ASI. Sedangkan variabel lain, jika saling berinteraksi ternyata tidak
menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap kejadian stunting.
4.
Asupan Vitamin Adengan Kejadian Stunting
Untuk mengetahui ada
tidak hubungan antara masing-masing variabel asupan vitamin A, zinc dan
besi dengan kejadian stunting digunakan uji t-test.
Pada Tabel 8
ditunjukkan nilai mean dan hasil uji hubungan masing-masing variabel. Pada
Tabel 8 menunjukkanbahwa tidak ada perbedaan bermakna asupan zat gizi (vitamin
A, zat besi dan zinc) terhadap kejadian stunting (p>0,05),
berarti pada a = 0,05 tidak terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata
asupan zat gizi (vitamin A, zat besi dan zinc) antara balita yang stunting
dengan yang normal.
Apabila dikelompokkan
berdasarkan umur dan status menyusu, maka perbedaan asupan vitamin A dan zinc,
antara kelompok stunting dan normal dapat di lihat pada Tabel 9 dan
10. Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa di antara balita umur 6-23 bulan atau 24-59
bulan, apabila tidak diberikan ASI lagi, maka asupan vitamin A lebih kecil
(defisit) pada kelompok stunting dibandingkan normal, yaitu
masing-masing 48,75±44,68 % AKG dan 66,91 ±71,65 % AKG.
Pada Tabel 10
menunjukkan bahwa asupan zinc pada semua kelompok umur dan status menyusu,
baik yang berstatus gizi stunting maupun normal memiliki asupan zinc defisit
(<70% AKG).
Hasil analisis
statistik menunjukkan bahwa pada umur 24-59 bulan balita dengan status menyusu
tidak diberikan ASI lagi diperoleh nilai mean difference (IK95%)
-5,76(-10,41;-l,ll) dengan p=0,01. Artinya di antara balita umur 24-59 bulan
dan tidak diberikan ASI lagi menunjukkan ada perbedaan yang bermakna asupan zinc
antara kelompok stunting dan normal.
Hasil analisis
statistik pada umur 6-23 bulan juga menunjukkan bahwa nalita dengan status
menyusu tidak diberikan ASI lagi diperoleh nilai mean difference (IK95%)
24,89(-47,21;-2,58) dengan p=0,03. Artinya di antara balita umur 6-23 bulan dan
tidak diberikan ASI lagi, menunjukkan ada perbedaan yang bermakna asupan zinc
antara kelompok stunting dan normal.
D.
Pembahasan
1. Karakteristik Subjek Penelitian
Defisiensi vitamin A
dan zinc sebagai faktor risiko terjadinya kejadian stunting dalam
penelitian ini juga dipengaruhi oleh beberapa variabel yang berpotensi sebagai confounding
factor hasil penelitian. Variabel iru adalah karakteristik yang ada pada
subyek yaitu data umur anak, status anemia, pola asuh (umur penyapihan,
pengasuh, waktu pemberian makanan pendamping-ASI), dan status menyusu.
Uji statistik (Tabel 1)
yang dilakukan terhadap variable-variabel tersebut, ternyata6 variabel
menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok stunting
dan normal, sedangkan 2 variabel yaitu umur anak dan status menyusu
menunjukkan ada perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok stunting
dan normal. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa 2
variabel karakteristik subyek yaitu umur anak dan status menyusu tetap harus
dipertimbangkan dalam setiap analisis, sedangkan variabel lain yang
diidentifikasi berpotensi mengganggu hasil penelitian ini telah di eliminasi.
Kecenderungan stunting
yang meningkat, seiring dengan pertambahan umur anak (Tabel 2), diduga
sebagai komulatif kejadian yang terjadi sejak lama, karena stunting bersifat
menetap. Disamping stunting yang terjadi pada usia sejak kurang dari 2
tahun, juga terjadi pada usia lebih dari 2 tahun, sehingga persentase kejadian stunting
menjadi lebih besar. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa 96% stunting yang
terjadi pada usia 2 tahun, disebabkan oleh stunting yang terjadi pada
usia anak-anak.
Variabel umur
penyapihan, tidak berbeda antara kelompok stunting dan normal (p>0,60) dalam
penelitian ini. Hal ini berbeda dengan penelitian pada balita yang tingal di
pedesaan Mexico, mengatakan bahwa umur penyapihan lebih dari 6 bulan
meningkatkan risiko stunting 2,22 kali lebih besar dibandingkan dengan
penyapihan sebelum umur 6 bulan
2. Hubungan Kadar Serum Retinal dan Zinc dengan Kejadian Stunting
Data penelitian
menunjukkan mayoritas subjek penelitian memiliki status vitamin A normal,
bahkan cenderung melebihi batas normal, jika mengacu dari nilai normal
rata-rata kadar serum retinol subyek penelitian diatas marginal level
(>20 u.g/dL/H I5). Hal yang sama juga ditemukan pada data serum zinc
dengan nilai >0.7umol/L dan perbedaan antara kelompok stunting dengan
normal maupun antara kelompok umur 24-59 bulan dengan umur 6-23 bulan relatif kecil.
Penyebab utama kondisi
serum vitamin A dan zinc yang cenderung tinggi pada penelitian ini sulit
untuk dideteksi, sehingga secara fisiologis mekanisme mikronutrien terhadap
tingginya kadar retinol dan zinc pada kelompok stunting tidak
dapat dijawab dalam penelitian ini.
Jika di lihat pada data
serum vitamin A,
kemungkinan berhubungan faktor asupan bahan makanan yang mengandung vitamin A, sehari sebelum pengambilan sampel darah dengan kadar retinol, karena pengambilan data recall konsumsi dilakukan bersamaan setelah pengambilan sampel darah. Hal itu dapat di lihat dari tingkat asupan vitamin A lebih dari 50% AKG, baik dari kelompok stunting (69,65 ± 8,99% AKG), maupun dari kelompok normal (84,65 ±123,48%AKG) (Tabel 8). Walaupun kedua kelompok rata-rata sudah mendapatkan kapsul vitamin A, maka adanya tambahan asupan makanan yang mengandung vitamin A pada kelompok stunting dan normal diduga berhubungan dengan stabilnya kadar retinol pada kedua kelompok tersebut.
kemungkinan berhubungan faktor asupan bahan makanan yang mengandung vitamin A, sehari sebelum pengambilan sampel darah dengan kadar retinol, karena pengambilan data recall konsumsi dilakukan bersamaan setelah pengambilan sampel darah. Hal itu dapat di lihat dari tingkat asupan vitamin A lebih dari 50% AKG, baik dari kelompok stunting (69,65 ± 8,99% AKG), maupun dari kelompok normal (84,65 ±123,48%AKG) (Tabel 8). Walaupun kedua kelompok rata-rata sudah mendapatkan kapsul vitamin A, maka adanya tambahan asupan makanan yang mengandung vitamin A pada kelompok stunting dan normal diduga berhubungan dengan stabilnya kadar retinol pada kedua kelompok tersebut.
Fakta ini dapat
diterima karena 95,42% subyek penelitian pada saat pengumpulan data berstatus
gizi normal berdasarkan indeks BB/TB sebagai indikator status gizi saat ini.
Status gizi subyek yang normal pada saat pengukuran kadar retinol merupakan
refleksi status biokimia subyek, sedangkan stunting adalah gambaran
status gizi masa lalu. Artinya risiko stunting yang terjadi pada saat
pengumpulan data kemungkinan dapat dibuktikan apabila dilihat status biokimia
subyek pada masa lalu, sehingga disain penelitian cross-sectional pada
penelitian ini tidak dapat menjawab tujuan penelitian ini. Studi crosssectional
memiliki rancangan dimana status paparan dan status penyakit diukur pada
satu saat yang sama. Dengan demikian walaupun pada penelitian ini, paparan dan
penyakit diukur pada
satu saat yang sama, tetapi paparan yang terjadi terhadap risiko stunting sudah terjadi sejak lama.
satu saat yang sama, tetapi paparan yang terjadi terhadap risiko stunting sudah terjadi sejak lama.
Penyebab lain adalah
jarak pengambilan darah yang relatif pendek ± 3-4 bulan dari bulan pembagian
kapsul vitamin A. Hal ini diduga sebagai penyebab masih tingginya kadar serum retinol
balita yang dibuktikan dengan persentase subyek penelitian yang menerima
tablet vitamin A periode Februari, ± 3-4 bulan sebelum studi sebesar 89,0%.
Beberapa ahli menyebutkan bahwa pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi
dapat memenuhi kebutuhan vitamin A sampai 3 bulan ke depan. Akibatnya ketersediaan cadangan retinol di hati pada studi ini relatif cukup dan tambahan asupan vitamin A setengah dari kebutuhan saja, maka akan dapat
meningkatkan status vitamin A.
dapat memenuhi kebutuhan vitamin A sampai 3 bulan ke depan. Akibatnya ketersediaan cadangan retinol di hati pada studi ini relatif cukup dan tambahan asupan vitamin A setengah dari kebutuhan saja, maka akan dapat
meningkatkan status vitamin A.
Apabila di lihat
perbedaan rata-rata kadar
serum retinol, setelah dikelompokkan berdasarkan umur dan status menyusu, menunjukkan bahwa balita pada umur 6-23bulan dan masih diberikan ASI memiliki mean difference (IK95%) 3,91(- 0,09;7,92) lebih besar dibandingkan balita pada umur yang sama tetapi tidak diberikan ASI
dengan mean difference (IK95%) -0,55(-8,09;6,98) (label 4). Hal yang sama juga terjadi pada kelompok umur 24-59 bulan, dimana mean difference (IK95%) lebih besar pada balita yang diberikan ASI dibandingkan yang tidak diberikan ASI. Walaupun perbedaan tidak signifikan, tetapi dapat kita lihat bahwa faktor ASI memiliki kontribusi yang besar dalam memenuhi kebutuhan vitamin A subyek, terutama pada kelompok stunting.
serum retinol, setelah dikelompokkan berdasarkan umur dan status menyusu, menunjukkan bahwa balita pada umur 6-23bulan dan masih diberikan ASI memiliki mean difference (IK95%) 3,91(- 0,09;7,92) lebih besar dibandingkan balita pada umur yang sama tetapi tidak diberikan ASI
dengan mean difference (IK95%) -0,55(-8,09;6,98) (label 4). Hal yang sama juga terjadi pada kelompok umur 24-59 bulan, dimana mean difference (IK95%) lebih besar pada balita yang diberikan ASI dibandingkan yang tidak diberikan ASI. Walaupun perbedaan tidak signifikan, tetapi dapat kita lihat bahwa faktor ASI memiliki kontribusi yang besar dalam memenuhi kebutuhan vitamin A subyek, terutama pada kelompok stunting.
3. Beberapa Confounding Factor dan Efek Modifikasi yang
mempengaruhi Defisiensi Vitamin A dan Zinc dengan Kejadian Stunting
Setelah dilakukan
analisis confounding factor dan efek modifikasi melalui tahapan stratifikasi,
ternyata hubungan antara status vitamin A dan kejadian stunting lemah
(p=0,58) karena tidak terpengaruh oleh faktor luar dari variabel yang diduga
mempengaruhi hubungan keduanya. Faktor umur, status menyusu dan status anemia
setelah dilakukan stratifikasi menurut kelompok berisiko dan tidak berisiko, ternyata
tidak menunjukkan pengaruhnya sebagai faktor penggangu karena OR Mantel
Haenszel lebih kecil atau hampir sama dengan Crude OR nya. Variabel
yang diduga menjadi variabel pengganggu ternyata hanya berupa efek modifikasi
saja. Hasil analisis (label 5), menunjukkan bahwa pada stratifikasi variabel
umur OR1 > OR2 (1,52> 0,62), dan stratifikasi variabel status menyusu OR1 > OR2 (1,48>0,47). Artinya variabel umur dan status menyusu merupakan efek modifikasi saja, yaitu memperkuat atau memperlemah hubungan kedua variabel yang diteliti yaitu defisiensi vitamin A dengan kejadian stunting. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan di Purworejo yang menyebutkan bahwa faktor umur dan status menyusu sebagai efek modifikasi.
umur OR1 > OR2 (1,52> 0,62), dan stratifikasi variabel status menyusu OR1 > OR2 (1,48>0,47). Artinya variabel umur dan status menyusu merupakan efek modifikasi saja, yaitu memperkuat atau memperlemah hubungan kedua variabel yang diteliti yaitu defisiensi vitamin A dengan kejadian stunting. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan di Purworejo yang menyebutkan bahwa faktor umur dan status menyusu sebagai efek modifikasi.
Sama halnya dengan
hubungan defisiensi
vitamin A dan kejadian stunting, maka hubungan defisiensi zinc dengan kejadian stunting juga dilakukan stratifikasi untuk menganalisis apakah
faktor umur, status menyusu dan status anemia merupakan confounding factor.
vitamin A dan kejadian stunting, maka hubungan defisiensi zinc dengan kejadian stunting juga dilakukan stratifikasi untuk menganalisis apakah
faktor umur, status menyusu dan status anemia merupakan confounding factor.
Hasil analisis (label
6) menunjukkan bahwa pada stratifikasi variabel umur, status menyusu dan status
anemia tidak kuat menggangu hubungan defisiensi zinc dengan kejadian stunting,
karena nilai OR Mantel Haenszel <
Crude OR nya.Ketiga faktor tersebut juga bukan sebagai efek modifikasi.
Crude OR nya.Ketiga faktor tersebut juga bukan sebagai efek modifikasi.
4. Analisis Regresi Logistik Berganda Faktor Risiko Kejadian Stunting
Beberapa variabel
sebagai faktor risiko kejadian stunting, yang ikut dalam analisis
multivariat menunjukkan bahwa status menyusu berhubungan secara bermakna dengan
kejadian stunting pada balita [p=0,03 dan OR (IK 95%)= 2,06 (1,06 ;
4,02)]. Artinya balita yang tidak diberikan ASI lagi mempunyai kemungkinan 2
kali lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan balita yang masih
diberikan ASI, atau pemberian ASI protektif terhadap risiko terjadinya stunting
pada balita (label 7). Hasil ini
sejalan dengan penelitian yang mengatakan bahwa pertambahan panjang badan secara signifikan bertambah baik pada tahun ke -2 dan ke -3 pada anak yang mendapat AST lebih lama daripada anak-anak yang disapih pada tahun ke -2, atau sebaliknya semakin dini balita tidak lagi mendapat ASI, pertambahan panjang badan lebih rendah dibandingkan dengan yang mendapat ASI, akibatnya peluang terjadinya stunting menjadi lebih besar. Beberapa penelitian lain yang juga mendukung menyebutkan bahwa balita stunting, yang berumur 18 bulan atau kurang, dan menyusu pada awal studi, setelah di follow up 18 bulan memiliki risiko 31% (RR 0,69., IK95% 0,63;0,84) lebih kecil terjadinya stunting dibandingkan balita yang tidak menyusu'20'', dan efek positif menyusu sampai lebih dari 6 bulan terhadap pertumbuhan linier'2. Namun berbeda dengan beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa peluang stunting lebih besar (77%) pada bayi yang disapih lebih dari 6 bulan (22). Perbedaan yang terjadi pada studi di atas disebabkan karena mereka yang stunting tersebut tidak mendapat imunisasi lengkap pada tahun pertama dan tinggal/hidup dalam kemiskinan. Demikian juga studi di Mexico yang mengatakan bahwa di antara subyek yang tinggal di perkotaan, menyusu lebih lama (> 6 bulan) meningkatkan risiko stunting 1,71 kali lebih besar dibandingkan dengan yang menyusu < 6 bulan^. Pada studi ini membedakan antara balita di perkotaan dan di pedesaan, sehingga kemungkinan adanya faktor-faktor lain dalam pola asuh pada kedua kelompok tersebut menjadi berbeda misalnya akses terhadap pelayanan kesehatan dan kemiskinan.
sejalan dengan penelitian yang mengatakan bahwa pertambahan panjang badan secara signifikan bertambah baik pada tahun ke -2 dan ke -3 pada anak yang mendapat AST lebih lama daripada anak-anak yang disapih pada tahun ke -2, atau sebaliknya semakin dini balita tidak lagi mendapat ASI, pertambahan panjang badan lebih rendah dibandingkan dengan yang mendapat ASI, akibatnya peluang terjadinya stunting menjadi lebih besar. Beberapa penelitian lain yang juga mendukung menyebutkan bahwa balita stunting, yang berumur 18 bulan atau kurang, dan menyusu pada awal studi, setelah di follow up 18 bulan memiliki risiko 31% (RR 0,69., IK95% 0,63;0,84) lebih kecil terjadinya stunting dibandingkan balita yang tidak menyusu'20'', dan efek positif menyusu sampai lebih dari 6 bulan terhadap pertumbuhan linier'2. Namun berbeda dengan beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa peluang stunting lebih besar (77%) pada bayi yang disapih lebih dari 6 bulan (22). Perbedaan yang terjadi pada studi di atas disebabkan karena mereka yang stunting tersebut tidak mendapat imunisasi lengkap pada tahun pertama dan tinggal/hidup dalam kemiskinan. Demikian juga studi di Mexico yang mengatakan bahwa di antara subyek yang tinggal di perkotaan, menyusu lebih lama (> 6 bulan) meningkatkan risiko stunting 1,71 kali lebih besar dibandingkan dengan yang menyusu < 6 bulan^. Pada studi ini membedakan antara balita di perkotaan dan di pedesaan, sehingga kemungkinan adanya faktor-faktor lain dalam pola asuh pada kedua kelompok tersebut menjadi berbeda misalnya akses terhadap pelayanan kesehatan dan kemiskinan.
Hal lain yang diduga
berhubungan dengan risiko kejadian stunting di antara balita yang tidak
diberikan ASI lagi, karena rendahnya asupan dari luar sebagai pengganti ASI
atau MP-ASI. Dalam studi ini terlihat perbedaan yang signifikan pada asupan zinc
pada balita yang tidak diberikan ASI lagi antara kelompok stunting dan
normal (Tabel 10). Artinya hasil tersebut membuktikan bahwa peranan ASI cukup
penting dalam memenuhi kebutuhan asupan zat gizi terutama gizi mikro.
Kemungkinan lain tingginya stunting adalah faktor genetik dan gangguan
lain yang terjadi selama kehamilan, tetapi pada penelitian ini tidak diamati.
E.
Kesimpulan
Defisiensi vitamin A
dan zinc bukan sebagai faktor risiko terjadinya stunting pada
balita di Provinsi NTB. Umur anak dan status menyusu merupakan efek modifikasi
hubungan status vitamin A dengan kejadian stunting. Variabel yang
bermakna secara sendiri maupun bersamaan sebagai faktor risiko terjadinya stunting
di Provinsi NTB adalah status menyusu. Balita yang tidak lagi menyusu
mempunyai risiko 2 kali lebih besar mengalami stunting dibandingkan
balita yang masih menyusu. Di antara balita yang tidak diberikan ASI lagi,
ditemukan asupan zinc yang berbeda pada kelompok stunting dan
normal.
DAFTAR
PUSTAKA
Almatsier, S (2005) Prinsip Dasar Ilmu Gizi.Gramedia: Jakarta
Atmarita (2005) Nutrition Problem ini Indonesia; Articel; An Integrated International Seminar and Workshop on Lifesytle-Related Diseases-UGM. 19-20 March 2005. [Accessed 5 Juli 2007].
Atmarita (2005) Nutrition Problem ini Indonesia; Articel; An Integrated International Seminar and Workshop on Lifesytle-Related Diseases-UGM. 19-20 March 2005. [Accessed 5 Juli 2007].
Kjolhede, C.L., Stalling, R.Y., Dibley, M.J., Sadjimin, T.,
Dawiesah, S., and Padmawati, S. (1995). Serum Retinol Levels among Preschool
Children in Central Java: Demographic and Socioeconomic Determinants.
International Journal of Epidemiology. 24 (2): pp 399-403.
Herman, S. (2007) Studi Masalah Gizi Mikro di Indonesia (Perhatian
Khusus pada Kurang Vitamin A, Anemia dan Seng). Laporan Penelitian. Bogor.
Puslitbang Gizi.
Dijkhuizen, M.A., Wieringa, F.T., West, C.E. and Muhilal (2004)
Zinc plus (3-carotene supplementation of pregnant women is superior to
p-carotene supplementation alone in improving vitamin A status in both mothers
and infant. Am J. Clin Nutr. pp 80:1299^1307. [Accessed 12 April 2007]
Hagnyonowati., Purwaningsih, Edan Widajanti, L (2005) Risiko
Defisiensi Seng dan Vitamin A terhadap Kemampuan Adaptasi Gelap. In PERSAGI
eds. Presiding Temu Ilmiah Konggres XIII Persagi 2005: Jakarta. Pp 244-253.
Bhutta, Z.A., Ahmed, T., Black, R.E., Cousens, S., Dewey, K.,
Giugliani, E., Haider,
B.A., Kirkwood, B., Marris, S.S.., Sachdev, H.P.S., and Shekar, M. (2008) Mathernal and Child Undernutrition 3, What works? Interventions for Maternal and Child Undernutrition and Survival; www.thelancet.com; [Accessed January 17, 2008].
B.A., Kirkwood, B., Marris, S.S.., Sachdev, H.P.S., and Shekar, M. (2008) Mathernal and Child Undernutrition 3, What works? Interventions for Maternal and Child Undernutrition and Survival; www.thelancet.com; [Accessed January 17, 2008].
Adhi, K.T. (2008). Perbedaan Pertumbuhan Linier (TB/U), Kadar Seng
dan Kadar Creactive Protein (CRP) pada Balita dengan Kadar Serum Retinol Normal
dan Tidak Normal. Tesis. Universitas Airlangga Surabaya.
Depkes (2006). Gizi dalam Angka sampai Tahun 2005. Jakarta.
Guno, M.J.V. (2004). Status Gizi Ibu dan Anak di Filipina. In
Hardinsyah dan Puruhita, A. eds. Presiding Inovasi Pangan dan Gizi untuk
Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak, Mei 10-11, 2004, Jakarta-Indonesia, American
Soybean Association, pp.65-77.
Dinkes Prop NTB (2007a) Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Propinsi
NTB tahun 2006: Mataram.
Adair, L.S and Guilkey, D.K (1997) GageSpecific Determinants of
Stunting in Filipino Children. The Jurnal Of Nutrition, pp 314- 320 [Accessed
20 February 2009].
Reyes, H., Cuevas, R.P., Sandoval, A., Castillo, R., Santos.,
J.I., Doubova, S.V. and
Gutierrez, G. (2004) The Family as a Determinant of Stunting in Children Living in Conditions of Extreme Poverty: A CaseControl Study. BMC Public
Health.http:/www.biomedcentral.com/1471- 2458/4/57/prepub.
Gutierrez, G. (2004) The Family as a Determinant of Stunting in Children Living in Conditions of Extreme Poverty: A CaseControl Study. BMC Public
Health.http:/www.biomedcentral.com/1471- 2458/4/57/prepub.
Gibson (2005). Principles of Nutrition Assesment. New York. Oxford
University.
West, K.P., Gernand, A.D. and Sommer, A (2007) Vitamin A in
Nutritional Anemia. In Kraemer, K and Zimmermann, M.B Nutritional Anemia
(Internet). Basel,
Switzerland. Sight and Life Press. www.sightandlife.org [Accessed 6 Juni 2008].
Switzerland. Sight and Life Press. www.sightandlife.org [Accessed 6 Juni 2008].
Murti, B (1997) Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Gadjah mada
University Press: Jogjakarta.
Muhilal dan Sulaeman, A (2004) Angka Kecukupan Vitamin Larut
Lemak. In Soekirman, et al. eds. Presiding Ketahanan Pangan dan Gizi di Era
Otonomi Daerah dan Globalisasi. WNPG. 17-19 Mei 2004. Jakarta, LIPI. pp
331-342.
Hadi, H., Stoltzfus, R.J., Dibley, M.J., Moulton, L.H., West, KP.,
Kjolhede, J.C.L
and Sadjimin, T (2000). Vitamin A Supplementation Selectively, Improves the
Linear Growth of Indonesia Preschool Children. Am. J. Clin. Nutr. 71: pp 507-513. [Accessed 23 Maret 2009].
and Sadjimin, T (2000). Vitamin A Supplementation Selectively, Improves the
Linear Growth of Indonesia Preschool Children. Am. J. Clin. Nutr. 71: pp 507-513. [Accessed 23 Maret 2009].
Simondon, K.B., Simondon, F., Costes, R.,Delaunay, V. and Diallo,
A. (2001) Breastfeeding is Associated With Improved Growth in Length, but not
Weight, in Rural Senegalese Toddlers. Am J Clin Nutr. Pp 73:959-67.
Sedgh, G., Herrera, M.G., Nestel, P., Amin, A. and Fawzi, W.W
(2000) Dietary Vitamin A Intake and Nondietary Factors Are Associated with
Reversal Of Stunting in Children. The Journal of Nutrition, pp 2520- 2526
[Accessed 26 Nopember 2008].
Alvarado, B.E., Zunzunegui, M.V., Delisle, H.,and Osorno, J (2005)
Growth Trajectories Are Influenced by Breast-Feeding and Infant Health in an
Afro-Colombian Cummunity. The Journal Of Nutrition, pp 2171-2178 [Accessed 23
Desember 2008].
Padmadas, S.S., Hutter, I. and Willekens, F. (2002) Weaning
Initiation Patterns and Subsequent Linier Growth Progression Among Children
Aged 2-4 Years In India. International Journal of Epidemiology; 31; pp. 855-863.
Gizi Kesehatan
Masyarakat
“Tugas Resume”
Nama : Christian Sepriadi
NIM
: N 201 16 065
Kelas
: A
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
2018
A. Pengertian Kekurangan Vitamin A (KVA)
Kekurangan
Vitamin A (KVA) adalah penyakit yang disebabkan oleh kurangnya asupan vitamin A
yang memadai. Hal ini dapat menyebabkan rabun senja, xeroftalmia dan jika
kekurangan berlangsung parah dan berkepanjangan akan mengakibatkan
keratomalasia (Arisman. 2002).
Sedangkan
menurut Arisman tahun 2002, Kurang Vitamin A (KVA) merupakan penyakit sistemik
yang merusak sel dan organ tubuh dan menghasilkan metaplasi keratinasi pada
epitel, saluran nafas, saluran kencing dan saluran cerna. Penyakit Kurang
Vitamin A (KVA) tersebar luas dan merupakan penyebab gangguan gizi yang sangat
penting. Prevalensi KVA terdapat pada anak-anak dibawah usia lima tahun. Sampai akhir tahun 1960-an KVA merupakan penyebab
utama kebutaan pada anak.
B. Prevalensi Kekurangan Vitamin A (KVA)
Kurang vitamin A (KVA) di Indonesia masih merupakan
masalah gizi utama. Meskipun KVA tingkat berat (xeropthalmia) sudah jarang
ditemui, tetapi KVA tingkat subklinis, yaitu tingkat yang belum menampakkan
gejala nyata, masih menimpa masyarakat luas terutama kelompok balita. KVA
tingkat subklinis ini hanya dapat diketahui dengan memeriksa kadar vitamin A
dalam darah di laboratorium. Masalah KVA dapat diibaratkan sebagai fenomena
“gunung es” yaitu masalah xeropthalmia yang hanya sedikit tampak dipermukaan
(Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2012).
Kekurangan vitamin A atau KVA merupakan salah
satu masalah gizi yang ada di negara berkembang. Asia Tenggara memiliki
prevalensi KVA balita tertinggi dibandingkan dengan wilayah lain seperti
Afrika, Amerika, Eropa, Timur Tengah dan Pasifik Barat. Di Indonesia masalah
kekurangan vitamin A pada tahun 2011 sudah dapat dikendalikan, namun secara
subklinis prevalensi kekurangan vitamin A terutama pada kadar serum retinol
dalam darah kurang dari 20μg/dl masih mencapai 0,8% (Widyakarya Nasional Pangan
dan Gizi, 2012).
Angka kebutaan di Indonesia tertinggi di kawasan Asia
Tenggara. Berdasarkan survai kesehatan indera penglihatan dan pendengaran tahun
1993-1996 menunjukkan angka kebutaan di Indonesia 1,5 % dari jumlah penduduk
atau setara dengan 3 juta orang. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding
Bangladesh (1%), India (0,7 %), dan Thailand (0,3 %) (Gsianturi, 2006).
Hasil Studi Masalah Gizi Mikro di 10 propinsi yang
dilakukan Puslitbang Gizi dan Makanan Departemen Kesehatan RI pada Tahun
2006 memperlihatkan balita dengan Serum
Retinol kurang dari 20μg/dl adalah sebesar 14,6%. Hasil studi tersebut menggambarkan terjadinya penurunan bila
dibandingkan dengan Survei Vitamin A Tahun 1992 yang menunjukkan 50% balita
mempunyai serum retinol kurang dari 20 μg/dl. Oleh karena itu, masalah kurang
Vitamin A (KVA) sudah tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi karena
berada di bawah 15% (batasan IVACG). Hal tersebut salah satunya berkaitan
dengan strategi penanggulangan KVA dengan pemberian suplementasi Vitamin A yang
dilakukan setiap bulan Februari dan Agustus (Bulan Kapsul Vitamin A) (buku
panduan suplemen vit. A).
Kekurangan vitamin A dalam makanan sehari-hari
menyebabkan setiap tahunnya sekitar 1 juta anak balita di seluruh dunia
menderita penyakit mata tingkat berat (xeropthalmia) ¼ diantaranya menjadi buta
dan 60 % dari yang buta ini akan meninggal dalam beberapa bulan. Kekurangan
vitamin A menyebabkan anak berada dalam resiko besar mengalami kesakitan,
tumbuh kembang yang buruk dan kematian dini. Terdapat perbedaan angka kematian
sebesar 30 % antara anak-anak yang mengalami kekurangan vitamin A dengan
rekan-rekannya yang tidak kekurangan vitamin A (Unicef, 2011).
C. Indikator Kekurangan Vitamin A (KVA)
Indikator
Klinis dan gejala Kurang vitamin A (KVA) adalah kelainan sistemik yang
mempengaruhi jaringan epiteldari organ-organ seluruh tubuh, termasuk paru-paru,
usus, mata dan organ lain, akan tetapi gambaran yang karakteristik langsung
terlihat pada mata. Kelainan kulit pada umumnya tampak pada tungkai bawah
bagian depan dan lengan atas bagian belakang, kulit tampak kering dan bersisik
seperti sisik ikan. Kelainan ini selain disebabkan karena KVA dapat juga
disebabkan karena kekurangan asam lemak essensial, kurang vitamin golongan B
atau Kurang Energi Protein (KEP) tingkat berat atau gizi buruk.Gejala klinis
KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA yang telah berlangsung lama.
Gejala tersebut akan lebih cepat timbul bila anak menderita penyakit campak,
diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya (Murray,2009).
Indikator
biologis, fungsional dan histologis status vitamin A meliputi xerophthalmia,
rabun senja, sitologi konjunctiva serta tes adaptasi gelap (adaptometry). Saat ini, buta senja selama
kehamilan dan tes adaptasi gelap telah diusulkan sebagai
metode penilaian populasi oleh IVACG pada tahun 2001. Sementara tes
tanda dan fungsi mata masih digunakan pada daerah dimana terjadi kekurangan
vitamin A yang berat, kekurangan vitamin A subklinis lebih sering terjadi (Murray,2009).
D. Gambaran Klinis KVA
Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA
yang telah berlangsung lama. gejala tersebut akan lebih cepat muncul jika
menderita penyaki campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya.
Gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO (/USAID/UNICEF / HKI/ IVACG, 1996) sebagai berikut :
Gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO (/USAID/UNICEF / HKI/ IVACG, 1996) sebagai berikut :
1.
Buta senja = XN
Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina.
Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang
remang-remang setelah lama berada di cahaya yang terang. Penglihatan menurun
pada senja hari, dimana penderita tidak dapat melihat lingkungan yang kurang
cahaya.
2.
Xerosis konjunctiva =
XI A.
Selaput lendir mata tampak kurang mengkilat atau terlihat
sedikit kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam.
3.
Xerosis konjunctiva
dan bercak bitot = XI B.
Gejala XI B adalah tanda-tanda XI A ditambah dengan bercak
bitot, yaitu bercak putih seperti busa sabun atau keju terutama celah mata sisi
luar. Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang merupakan
tanda khas pada penderita xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai penentuan
prevalensi kurang vitamin A pada masyarakat. Dalam keadaan berat tanda-tanda
pada XI B adalah, tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan konjunctiva,
konjunctiva tampak menebal, berlipat dan berkerut.
4.
Xerosis kornea = X2.
Kekeringan pada konjunctiva berlanjut sampai kornea, kornea
tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
5.
Keratomalasia dan
Ulcus Kornea = X3 A ; X3 B.
Kornea melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus. Pada
tahap ini dapat terjadi perforasi kornea.
Keratomalasia dan tukak kornea dapat berakhir dengan
perforasi dan prolaps jaringan isi bola mata dan membentuk cacat tetap yang
dapat menyebabkan kebutaan. Keadaan umum yang cepat memburuk dapat
mengakibatkan keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus melalui tahap-tahap
awal xeroftalmia.
6.
Xeroftalmia Scar (XS)
= jaringan parut kornea.
Kornea tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengecil.
Bila luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas berupa sikatrik atau
jaringan parut. Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan
walaupun dengan operasi cangkok kornea.
7.
Xeroftalmia Fundus
(XF).
Dengan opthalmoscope pada fundus tampak gambar seperti cendol.
E.
Etiologi KVA
Arisman (2002)
menyatakan bahwa KVA bisa timbul karena menurunnya cadangan vitamin A pada hati
dan organ-organ tubuh lain serta menurunnya kadar serum vitamin A dibawah garis
yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan metabolik bagi mata. Vitamin A
diperlukan retina mata untuk pembentukan rodopsin dan pemeliharaan diferensiasi
jaringan epitel. Gangguan gizi kurang vitamin A dijumpai pada anak-anak yang
terkait dengan : kemiskinan, pendidikan rendah, kurangnya asupan makanan sumber
vitamin A dan pro vitamin A (karoten), bayi tidak diberi kolostrum dan disapih
lebih awal, pemberian makanan artifisial yang kurang vitamin A. Pada anak yang
mengalami kekurangan energi dan protein, kekurangan vitamin A terjadi selain
karena kurangnya asupan vitamin A itu sendiri juga karena penyimpanan dan
transpor vitamin A pada tubuh yang terganggu.
Kelompok umur yang terutama mudah mengalami kekurangan
vitamin A adalah kelompok bayi usia 6-11 bulan dan kelompok anak balita usia
12-59 bulan (1-5 tahun). Sedangkan yang lebih berisiko menderita kekurangan
vitamin A adalah bayi berat lahir rendah kurang dari 2,5 kg, anak yang tidak
mendapat ASI eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia 2 tahun, anak yang
tidak mendapat makanan pendamping ASI yang cukup, baik mutu maupun jumlahnya,
anak kurang gizi atau di bawah garis merah pada KMS, anak yang menderita
penyakit infeksi (campak, diare, TBC, pneumonia) dan kecacingan, anak dari
keluarga miskin, anak yang tinggal di dareah dengan sumber vitamin A yang
kurang, anak yang tidak pernah mendapat kapsul vitamin A dan imunisasi di
posyandu maupun puskesmas, serta anak yang kurang/jarang makan makanan sumber
vitamin A (Arisman, 2002).
Terjadinya kekurangan vitamin A berkaitan dengan
berbagai faktor dalam hubungan yang kompleks seperti halnya dengan masalah
kekurangan kalori protein (KKP). Makanan yang rendah dalam vitamin A biasanya
juga rendah dalam protein, lemak dan hubungannya antara hal-hal ini merupakan
faktor penting dalam terjadinya kekurangan vitamin A.
Kekurangan vitamin A bisa disebabkan seorang anak kesulitan mengonsumsi vitamin A dalam jumlah yang banyak, kurangnya pengetahuan orang tua tentang peran vitamin A dan kemiskinan. Sedangkan untuk mendapatkan pangan yang difortifikasi bukan hal yang mudah bagi penduduk yang miskin. Karena, harga pangan yang difortifikasi lebih mahal daripada pangan yang tidak difortifikasi (Supariasa, 2002).
Kekurangan vitamin A bisa disebabkan seorang anak kesulitan mengonsumsi vitamin A dalam jumlah yang banyak, kurangnya pengetahuan orang tua tentang peran vitamin A dan kemiskinan. Sedangkan untuk mendapatkan pangan yang difortifikasi bukan hal yang mudah bagi penduduk yang miskin. Karena, harga pangan yang difortifikasi lebih mahal daripada pangan yang tidak difortifikasi (Supariasa, 2002).
F.
Konsekuensi KVA
Meskipun
konsekuensi KVA tidak digambarkan, namun data terakhir menunjukkan bahwa KVA
pada wanita usia reproduksi dapat meningkatkan resiko kesakitan dan kematian
selama kehamilan dan periode awal
postpartum. KVA yang berat pada maternal juga memberikan kerugian bagi anak
baru lahir karena dapat akibatkan peningkatan kematian dibulan pertama
kehidupan. Sebagai konsekuensi dari meningkatnya pemahaman tentang KVA maka sangat penting bahwa
beban kesehatan yang dihasilkan dikuantifikasi setepat mungkin, sebagai dasar tindakan dan
pemantauan serta evaluasi program pencegahan selanjutnya. terutama dengan menggabungkan dan mengekstrapolasikan data prevalensi dari negara dimana telah dikumpulkan
dalam populasi dengan profil demografis yang sama dan risiko yang telah diantisipasi. Dalam beberapa tahun terakhir, KVA telah diperkirakan mempengaruhi antara 75 dan 254 juta
anak prasekolah setiap tahun,
jauh dari jarak yang akurat. Tidak ada perkiraan permasalahan
kesehatan global KVA ibu atau
adanya insidensi tahunan kebutaan
malam ibu (Yunita satya pratiwi, 2013).
G. Pencegahan dan Penanggulangan KVA di
Indonesia
Menurut
Susilowati Herman, (2007), Pencegahan dan penanggulangan KVA yaitu:
1. Meningkatkan
konsumsi atau memperbanyak makan makanan sumber vitamin A alami baik dari
sumber sel hewani maupun nabati. Contoh : bahan makan yang tinggi vitamin A (minyak
ikan, hati sapi, telur ayam, pepaya kuning, pisang ambon, tomat masak, wortel,
sawi, ubi rambat merah, daun katu dll)
2. Fortifikasi
yaitu menambahkan vitamin A pada bahan makanan yang dimakan terutama oleh
golongan yang mudah terkena kurang vitamin A. Misalnya menambahkan vitdamin A pada
susu, biskuit dan makanan- makanan lainnya.
Adapun
Penanggulangan KVA, yaitu:
Penanggulangan
masalah Kurang Vitamin A (KVA) pada anak Balita sudah dilaksanakan secara
intensif sejak tahun 1970-an, melalui distribusi kapsul vitamin A setiap 6
bulan, dan peningkatan promosi konsumsi makanan sumber vitamin A. Dua survei
terakhir tahun 2007 dan 2011 menunjukkan, secara nasional proporsi anak dengan
serum retinol kurang dari 20 ug sudah di bawah batas masalah kesehatan
masyarakat, artinya masalah kurang vitamin A secara nasional tidak menjadi
masalah kesehatan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Arisman. 2002. Gizi dalam daur
kehiduan. Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Palembang.
Proyek peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi. Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi.
Gsianturi. 2006. Child Malnutrition In Indonesia. Bulletin Of Indonesia Economic
Studies. Nuss,
E.T. and Tanumihardjo, S.A. 2011. Quality
Protein Maize for Africa: Closing the protein Inadequacy Gap in Vulnerable
Populations. American Society for Nutrition. Adv.Nutr.2:217-224.
Murray, Robert K., Daryl K. Granner, dan Victor W.
Rodwell. 2009. Biokimia Harper. Edisi ke-27. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 506.
Supariasa.
2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta,
EGC, 2002.
Susilowati
Herman, 2007 “MASALAH KURANG VITAMIN A (KVA) DAN PROSPER PENANGGULANGANNYA”,
Media Litbang Kesehatan Volume XIII Nomor 4.
UNICEF. 2011. Adolescence An Age of Opportunity.United
Nations Children's Fund.
WHO and UNICEF. 1996. A
Strategy for Acceleration of Progress in
Combating Vitamin A Deficiency, New York.
Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi. 2012. WNPG untuk Ketahanan Pangan
Indonesia, Jakarta.
Yunita Satya Pratiwi, 2013, “KEKURANGAN
VITAMIN A (KVA) DAN INFEKSI”, “THE INDONESIAN JOURNAL OF HEALTH
SCIENCE”, Vol. 3, No. 2.
0 Komentar