Iklan atas - New

Review Jurnal Nasional Gizi Kesehatan Masyarakat “Defisiensi Vitamin A Dan Zinc Sebagai faktor Risiko Terjadinya Stunting Pada Balita Di Nusa Tenggara Barat”


Review Jurnal Nasional
Gizi Kesehatan Masyarakat
Defisiensi Vitamin A Dan Zinc Sebagai faktor
Risiko Terjadinya Stunting Pada Balita Di
Nusa Tenggara Barat



Nama : Christian Sepriadi
NIM  : N 201 16 065
Kelas : A


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
2018

DEFISIENSI VITAMIN A DAN ZINC SEBAGAIFAKTOR RISIKO TERJADINYA STUNTING PADA BALITA DI NUSA TENGGARA BARAT

Taufiqurrahman1, Hamam Hadi2, Madarina Julia3, Susilowati Herman3
Media Peneliti. dan Pengembang. Kesehatan. Volume XIX Tahun 2009, Suplemen II




Abstract
Anak-anak berusia 1 - 5 tahun sering menghadapi masalah gizi seperti kurang gizi, vitamin A dan seng defisiensi, anemia, stunting dan indeks perkembangan mental yang rendah (MDI). Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan menurunnya transportasi dan mobilitas zinc di jantung sementara itu diperlukan zinc di retinol yang mengikat sintesis protein. Jika defisiensi berlangsung lama dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan seperti yang dimanifestasikan dalam insiden pengerdilan. Untuk mempelajari kekurangan vitamin A dan zinc sebagai faktor risiko untuk kejadian stunting di antara balita di Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional Desain. Subyek penelitian adalah 327 balita dari 6 - 59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Status nutrisi dinilai melalui pengukuran anthopometry, kadar serum retinol menggunakan HPLC, zinc tingkat serum menggunakan AAS dan hemoglobin menggunakan hemoCue. Data karakteristik dan pemeliharaan individu Pola diperoleh melalui wawancara dan asupan gizi diukur menggunakan recall 2 x 24 jam. Data analisis menggunakan teknik bivariat untuk variabel yang berkaitan dengan pengerdilan, uji chi square untuk data kategori, independen t-test untuk rasio dan uji regresi logistik untuk mengukur risiko beberapa variabel secara bersamaan terkait dengan kejadian stunting. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada perbedaan umur antara kebutuhan balita yang stunted dan normal (p <0,05). Di kelompok balita yang tidak lagi disusui ada
perbedaan asupan zinc antara balita yang stunting dan yang normal (p <0,05). Hasil multivariat Analisis menunjukkan bahwa balita yang tidak lagi disusui memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk mengalami stunting setelahnya kontrol usia, status vitamin A dan seng. Efeknya diubah oleh usia dan menyusui. Disana ada tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A dan seng di antara balita adalah faktor risiko untuk insidensi stunting. Variabel yang secara individual maupun simultan signifikan untuk kejadian tersebut stunting adalah status menyusui. Anak balita yang tidak mendapat ASI memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk menjadi kerdil dibandingkan dengan mereka yang mendapat ASI, dan efeknya diubah oleh usia dan menyusui.
Kata kunci: Stunting, Vitamin A, Zinc, Retinol Serum, Zinc Serum, Hemoglobin, Status Menyusui


A.  Latar Belakang
Defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap sintesis protein, sehingga juga mempengaruhi pertumbuhan sel. Karena itulah maka, anak yang menderita defisiensi vitamin A akan mengalami kegagalan pertumbuhan. Masalah defisiensi vitamin A berdasarkan Survey Nasional oleh Hellen Keller International (HKI) tahun 1992 dilaporkan, bahwa masih ditemukan 50% anak
balita mempunyai kadar serum retinol <20 ug/dl. Survey tahun 1995 di Pulau Jawa menunjukkan bahwa prevalensi anak prasekolah yang mempunyai kadar serum retinol <20 ug/dl sebesar 58,41%, sedangkan survey nasional
tahun 2006 ditemukan 14,6%.
Kegagalan pertumbuhan pada anak, selain disebabkan oleh defisiensi vitamin A, juga berhubungan dengan defisiensi zinc. Dikatakan bahwa Manifestasi dari defisiensi zinc adalah gangguan pertumbuhan linier pada balita yang ditunjukkan dengan status stunting. Survey nasional pada skala kecil di Nusa Tenggara Timur (NTT), Pulau Lombok dan Pulau Jawa, dilaporkan bahwa prevalensi defisiensi zinc sekitar 6-39%. Penelitian beberapa ahli menyebutkan angka defisiensi zinc pada anak anak di Indonesia, 17% bayi dengan status marginal defisiensi zinc, tetapi studi tahun 2005
di Kedungjati-Grobogan pada anak SD, ditemukan anak yang mengalami defisiensi zinc sebesar 33,3%. Prevalensi yang hampir sama
juga ditemukan pada survey nasional tahun 2006,
di mana prevalensi defisiensi zinc pada balita
sebesar 31,6%(4).
Kurang gizi mikro (vitamin A dan zinc)
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian kurang gizi kronis (stunting) Studi di Surabaya tahun 2008, menemukan bahwa di
antara balita yang kadar retinol tidak normal, ditemukan status gizi (TB/U) pendek sebesar 33,3% dan sangat pendek 26,7%.
Prevalensi stunting pada anak balita  di Indonesia menunjukkan gambaran yang statis dari tahun 1990 s/d 2001 yaitu 44,5% (Indonesia
Bagian Timur, 1990), 41,4% (Survey VitaminA, 1992), 45,9% (Survey Kesehatan Ibu dan Anak, 1995), 45,6% (Survei NSS, 1999f:9), lebih tinggi
dibandingkan dengan Philipina yang menunjukkan prevalensi stunting 34% (1977-1988) dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 39,1%. Survey nasional tahun 2006 ditemukan stunting sebesar 36,2%. Sementara itu laporan
tahunan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dilaporkan bahwa prevalensi stunting yaitu 42,43% (2005) dan 31,76% (2006). Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk mempelajari tentang defisiensi vitamin A dan zinc
sebagai faktor risiko terjadinya stunting pada balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah defisiensi vitamin A dan zinc sebagai faktor risiko kejadian stunting di Provinsi NTB.
B.  Metode
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian survey "Studi Masalah Gizi Mikro di Indonesia, Perhatian Khusus pada Kurang Vitamin A, Anemia dan Zinc" yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Bogor di 10 Provinsi se Indonesia termasuk Provinsi NTB pada bulan Maret s/d Desember 2006 dan Maret 2007. Kemudian sesuai dengan Surat ijin Puslitbang Gizi Bogor tentang penggunaan data untuk penulisan tesis ini, maka data dengan kajian khusus untuk wilayah NTB digunakan dalam penelitian observasional analitik ini untuk menelaah defisiensi vitamin A dan zinc sebagai faktor risiko terjadinya stunting pada balita.
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sama yaitu cross-sectional. Subyek penelitiannya adalah anak balita (6-59 bulan) di Provinsi NTB. Namun dari 360 balita yang diperiksa darahnya pada penelitian survey tersebut, setelah diedit dan dicleaning, maka besar sampel yang digunakan dalam analisis penelitian ini hanya 327 balita.
Variabel penelitian ini meliputi variabel dependent : status stunting (indeks tinggi badan terhadap umur atau panjang badan terhadap umur), dan variabel independent: kadar serum retinol (ug/dL) dan kadar serum zinc (umol/L) dan variabel bebas lain yang turut dipertimbangkan dalam analisisnya adalah umur anak, status anemia, status menyusu dan asupan zat gizi (vitamin A, zinc dan besi).
Pengumpulan data identitas balita dan karakteristik responden (orang tua), pola asuh balita meliputi umur penyapihan, pengasuh dan waktu pemberian MP-ASI, dan status menyusu dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Pengukuran antropometri menggunakan timbangan digital (merk SECA) dengan ketelitian 0,1 kg dan alat pengukur tinggi/panjang badan (microtoise/ lengthboard) dengan ketelitian 0,1 cm. Pengumpulan data status vitamin A, zinc dan hemoglobin secara biokimia, dengan cara diambil darah vena sebanyak 2 cc menggunakan jarum kupu-kupu dan spuit 2 ml. Darah yang telah diambil dibagi dua, yaitu 0,2 cc untuk pemeriksaan hemoglobin dengan hemoCue dan 0,8 cc digunakan untuk penentuan kadar serum retinol menggunakan High Performance Liquid Cromathografi (HPLC) dan kadar zinc menggunakan Atomic Absorbtion Spectrophometry (AAS). Pengukuran keduanya dilakukan di Puslitbang Gizi Bogor. Adapun data asupan makanan vitamin A, zinc dan besi dikumpulkan dengan menggunakan metode recall 2 x 24 jam. Prosedur dalam penelitian survey tersebut, juga sama digunakan dalam penelitian ini terhadap beberapa variabel yang telah dikumpulkan. Kemudian diolah dan dicleaning sesuai dengan tujuan penelitian ini.
Data dianalisis pada interval kepercayaan 95%.  Analisis bivariat dengan uji chi-square test dan Independent t-test. Untuk melihat confounding factor dan efek modifikasi variabel umur anak, status menyusu dan status anemia terhadap hubungan defisiensi vitamin A dan zinc dengan kejadian stunting dilakukan analisis stratifikasi dengan uji chi-square mantel haenszel, sedangkan untuk menganalisis secara bersama beberapa faktor risiko kejadian stunting digunakan uji regresi logistik ganda.
C.  Hasil
1.    Karakteristik Subjek Penelitian
Pada awal pengolahan data penelitian dimulai, jumlah subyek adalah 360 anak, tetapi selama cleaning data terdapat subyek yang tidak lengkap datanya terhadap beberapa variabel yang dibutuhkan dalam penelitian sebanyak 33 anak sehingga pada akhir pengolahan data penelitian, jumlah subyek yang dianalisis adalah 327 anak yang terdiri dari 147 kelompok stunting dan 180 kelompok normal. Karakteristik subyek dari kedua kelompok tersebut dapat dilihat pada Tabel.
Walaupun hampir semua balita (89,6%) sudah mendapatkan kapsul vitamin 3-4 bulan sebelum penelitian ini, tetapi masih ditemukan subyek penelitian dengan status gizi berdasarkan indeks PB/U (panjang badan terhadap umur) atau TB/U (tinggi badan terhadap umur), sebesar 44,95% stunting dan 55,05% normal. Berdasarkan indeks BB/TB (berat badan terhadap tinggi badan) atau BB/PB (berat badan terhadap panjang badan), menunjukkan bahwa di antara balita yang stunting hampir semua (95,24%) status gizi normal, sedangkan berdasarkan indeks BB/U,
menunjukkan bahwa di antara balita yang stunting ditemukan gizi kurang (KEP) sebesar 52,38%, serta balita yang gizi buruk sebesar 29,93%.
Dari 8 variabel yang dianalisis pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa 6 variabel pada karakteristik subyek, tidak menunjukkan hubungan yang bermakna (p>0,05), sedangkan 2 variabel yaitu umur anak dan status menyusu menunjukkan hubungan yang bermakna (p<0,05). Dengan demikian kedua variabel tersebut dipertimbangkan dalam setiap analisis.
Selanjutnya untuk melihat kecenderungan kejadian stunting pada umur <12 bulan sampai dengan > 36 bulan dapat di lihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa semakin bertambah umur persentase kejadian stunting semakin tinggi.
2.    Hubungan antara Kadar Serum Retinol dan Zinc dengan Kejadian Stunting
Untuk mengetahui ada tidak hubungan antara masing-masing variabel kadar serum retinol dengan kejadian stunting digunakan uji ttest. Pada Tabel 3 ditunjukkan nilai mean dan hasil uji hubungan masing-masing variabel.
Dari variabel yang dianalisis pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa untuk variabel kadar serum retinol diperoleh mean difference (IK 95%) yang kecil antara kedua kelompok yaitu 1,13 (-0,36;2,62) dengan nilai p=0,13 berarti pada a.=0,05, tidak terlihat ada perbedaan yang signifikan
rata-rata kadar serum retinol antara balita yang stunting dan yang normal. Demikian juga pada variabel kadar serum zinc, diperoleh mean
difference
(IK 95%) yang kecil antara kedua kelompok yaitu 0,00 (-0,02;0,04) dengan nilai p=0,55 berarti pada a = 0,05, menunjukkan tidak
ada perbedaan kadar serum zinc antara kelompok stunting dan normal.
Apabila di lihat berdasarkan stratifikasi umur dan status menyusu, maka perbedaan kadar serum retinol antara kelompok stunting dan normal dapat di lihat pada Tabel 4.
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa kadar serum retinol pada semua kelompok umur dan status menyusu, baik yang berstatus gizi stunting maupun normal memiliki rata-rata kadar serum retinal di atas normal (>20ug/dL).
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pada umur 24-59 bulan balita dengan status menyusu masih diberikan ASI diperoleh nilai mean difference (IK95%) kadar serum retinol lebih besar dibandingkan balita yang masih diberikan ASI, yaitu masing-masing 1,04 (- 5,65;7,73) pada balita yang masih diberikan ASI dan -0,38 (1,34;2,09) pada balita yang tidak diberikan ASI lagi.
Hasil analisis statistik pada umur 6-23 bulan juga menunjukkan bahwa balita dengan status menyusu masih diberikan ASI diperoleh nilai mean difference (IK 95%) kadar serum retinol lebih besar dibandingkan balita yang masih diberikan ASI, yaitu masing-masing 3,91 (-0,09;7,92) pada balita yang masih diberikan ASI dan -0,55 (-8,09;6,98) pada balita yang tidak diberikan ASI lagi.
Untuk mengetahui beberapa confounding factor dan efek modifikasi yang mempengaruhi hubungan defisiensi vitamin A dan defisiensi zinc dengan kejadian stunting dapat di lihat pada Tabel
5 dan 6.
Pada Tabel 5 terlihat bahwa variabel umur, status menyusu dan status anemia bukan merupakan confounding factor hubungan defisiensi vitamin A dengan kejadian stunting, karena dari nilai OR Mantel Haenszel hampir sama dengan nilai Crude Odds Ratio atau perbedaan selisih keduanya <20%. Namun variabel umur dan status menyusu merupakan efek modifikasi yang memperlemah hubungan defisiensi vitamin A dengan kejadian stunting karena nilai OR strata 1 > OR strata 2. Artinya balita yang berumur 24-59 bulan dan atau tidak diberikan ASI lagi memiliki risiko 1,5 kali lebih besar mengalami stunting dibandingkan balita
yang berumur 6-23 bulan dan atau masih diberikan ASI pada balita di Provinsi NTB.
Pada Tabel 6 terlihat bahwa variabel umur, status menyusu dan status anemia bukan merupakan confounding factor hubungan defisiensi zinc dengan kejadian stunting, karena dari nilai OR Mantel Haenszel hampir sama dengan nilai Crude Odds Ratio atau perbedaan selisih keduanya <20%. Ketiga variabel tersebut bukan merupakan efek modifikasi yang mempengaruhi hubungan defisiensi zinc dengan kejadian stunting karena nilai OR strata 1 < OR strata 2, atau masing-masing memiliki nilai OR mendekati 1.
3.      Analisis Multivariat Faktor Risiko dengan Kejadian Stunting
Dari 6 variabel yang dianalisis bivariat pada Tabel 1 dan 3, hanya ada 2 variabel yang menunjukkan pengaruh bermakna terhadap kejadian stunting yaitu umur balita dan status menyusu.
Selanjutnya untuk mengetahui besar pengaruh setiap variabel secara interaktif dilakukan analisis regresi logistik berganda. Variabel yang diuji adalah variabel yang bermakna serta diduga memiliki kontribusi penting bagi kejadian stunting. Adapun variabel yang masuk dalam analisis regresi logistik berganda adalah umur anak, status menyusu, status vitamin A dan status zinc (sebagai variabel independent) dan status stunting (indeks TB/U atau PB/U) (sebagai variabel dependent). Hasilnya dapat dilihat pada Tabel7.
Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa hasil analisis pada model I, II dan III hanya ada 1 variabel memiliki nilai p < 0,05; yaitu : status menyusu dengan nilai OR (IK 95%) = 2,06 (1,06 ; 4,02). Artinya balita yang tidak diberikan ASI lagi dapat meningkatkan risiko stunting 2,06 kali lebih besar secara bermakna dibandingkan yang diberikan ASI. Sedangkan variabel lain, jika saling berinteraksi ternyata tidak menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap kejadian stunting.
4.      Asupan Vitamin Adengan Kejadian Stunting
Untuk mengetahui ada tidak hubungan antara masing-masing variabel asupan vitamin A, zinc dan besi dengan kejadian stunting digunakan uji t-test.
Pada Tabel 8 ditunjukkan nilai mean dan hasil uji hubungan masing-masing variabel. Pada Tabel 8 menunjukkanbahwa tidak ada perbedaan bermakna asupan zat gizi (vitamin A, zat besi dan zinc) terhadap kejadian stunting (p>0,05), berarti pada a = 0,05 tidak terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata asupan zat gizi (vitamin A, zat besi dan zinc) antara balita yang stunting dengan yang normal.
Apabila dikelompokkan berdasarkan umur dan status menyusu, maka perbedaan asupan vitamin A dan zinc, antara kelompok stunting dan normal dapat di lihat pada Tabel 9 dan 10. Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa di antara balita umur 6-23 bulan atau 24-59 bulan, apabila tidak diberikan ASI lagi, maka asupan vitamin A lebih kecil (defisit) pada kelompok stunting dibandingkan normal, yaitu masing-masing 48,75±44,68 % AKG dan 66,91 ±71,65 % AKG.
Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa asupan zinc pada semua kelompok umur dan status menyusu, baik yang berstatus gizi stunting maupun normal memiliki asupan zinc defisit (<70% AKG).
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pada umur 24-59 bulan balita dengan status menyusu tidak diberikan ASI lagi diperoleh nilai mean difference (IK95%) -5,76(-10,41;-l,ll) dengan p=0,01. Artinya di antara balita umur 24-59 bulan dan tidak diberikan ASI lagi menunjukkan ada perbedaan yang bermakna asupan zinc antara kelompok stunting dan normal.
Hasil analisis statistik pada umur 6-23 bulan juga menunjukkan bahwa nalita dengan status menyusu tidak diberikan ASI lagi diperoleh nilai mean difference (IK95%) 24,89(-47,21;-2,58) dengan p=0,03. Artinya di antara balita umur 6-23 bulan dan tidak diberikan ASI lagi, menunjukkan ada perbedaan yang bermakna asupan zinc antara kelompok stunting dan normal.
D.  Pembahasan
1.    Karakteristik Subjek Penelitian
Defisiensi vitamin A dan zinc sebagai faktor risiko terjadinya kejadian stunting dalam penelitian ini juga dipengaruhi oleh beberapa variabel yang berpotensi sebagai confounding factor hasil penelitian. Variabel iru adalah karakteristik yang ada pada subyek yaitu data umur anak, status anemia, pola asuh (umur penyapihan, pengasuh, waktu pemberian makanan pendamping-ASI), dan status menyusu.
Uji statistik (Tabel 1) yang dilakukan terhadap variable-variabel tersebut, ternyata6 variabel menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok stunting dan normal, sedangkan 2 variabel yaitu umur anak dan status menyusu menunjukkan ada perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok stunting dan normal. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa 2 variabel karakteristik subyek yaitu umur anak dan status menyusu tetap harus dipertimbangkan dalam setiap analisis, sedangkan variabel lain yang diidentifikasi berpotensi mengganggu hasil penelitian ini telah di eliminasi.
Kecenderungan stunting yang meningkat, seiring dengan pertambahan umur anak (Tabel 2), diduga sebagai komulatif kejadian yang terjadi sejak lama, karena stunting bersifat menetap. Disamping stunting yang terjadi pada usia sejak kurang dari 2 tahun, juga terjadi pada usia lebih dari 2 tahun, sehingga persentase kejadian stunting menjadi lebih besar. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa 96% stunting yang terjadi pada usia 2 tahun, disebabkan oleh stunting yang terjadi pada usia anak-anak.
Variabel umur penyapihan, tidak berbeda antara kelompok stunting dan normal (p>0,60) dalam penelitian ini. Hal ini berbeda dengan penelitian pada balita yang tingal di pedesaan Mexico, mengatakan bahwa umur penyapihan lebih dari 6 bulan meningkatkan risiko stunting 2,22 kali lebih besar dibandingkan dengan penyapihan sebelum umur 6 bulan
2.    Hubungan Kadar Serum Retinal dan Zinc dengan Kejadian Stunting
Data penelitian menunjukkan mayoritas subjek penelitian memiliki status vitamin A normal, bahkan cenderung melebihi batas normal, jika mengacu dari nilai normal rata-rata kadar serum retinol subyek penelitian diatas marginal level (>20 u.g/dL/H I5). Hal yang sama juga ditemukan pada data serum zinc dengan nilai >0.7umol/L dan perbedaan antara kelompok stunting dengan normal maupun antara kelompok umur 24-59 bulan dengan umur 6-23 bulan relatif kecil.
Penyebab utama kondisi serum vitamin A dan zinc yang cenderung tinggi pada penelitian ini sulit untuk dideteksi, sehingga secara fisiologis mekanisme mikronutrien terhadap tingginya kadar retinol dan zinc pada kelompok stunting tidak dapat dijawab dalam penelitian ini.
Jika di lihat pada data serum vitamin A,
kemungkinan berhubungan faktor asupan bahan makanan yang mengandung vitamin A, sehari sebelum pengambilan sampel darah dengan kadar retinol, karena pengambilan data recall konsumsi dilakukan bersamaan setelah pengambilan sampel darah. Hal itu dapat di lihat dari tingkat asupan vitamin A lebih dari 50% AKG, baik dari kelompok stunting (69,65 ± 8,99% AKG), maupun dari kelompok normal (84,65 ±123,48%AKG) (Tabel 8). Walaupun kedua kelompok rata-rata sudah mendapatkan kapsul vitamin A, maka adanya tambahan asupan makanan yang mengandung vitamin A pada kelompok stunting dan normal diduga berhubungan dengan stabilnya kadar retinol pada kedua kelompok tersebut.
Fakta ini dapat diterima karena 95,42% subyek penelitian pada saat pengumpulan data berstatus gizi normal berdasarkan indeks BB/TB sebagai indikator status gizi saat ini. Status gizi subyek yang normal pada saat pengukuran kadar retinol merupakan refleksi status biokimia subyek, sedangkan stunting adalah gambaran status gizi masa lalu. Artinya risiko stunting yang terjadi pada saat pengumpulan data kemungkinan dapat dibuktikan apabila dilihat status biokimia subyek pada masa lalu, sehingga disain penelitian cross-sectional pada penelitian ini tidak dapat menjawab tujuan penelitian ini. Studi crosssectional memiliki rancangan dimana status paparan dan status penyakit diukur pada satu saat yang sama. Dengan demikian walaupun pada penelitian ini, paparan dan penyakit diukur pada
satu saat yang sama, tetapi paparan yang terjadi terhadap risiko stunting sudah terjadi sejak lama.
Penyebab lain adalah jarak pengambilan darah yang relatif pendek ± 3-4 bulan dari bulan pembagian kapsul vitamin A. Hal ini diduga sebagai penyebab masih tingginya kadar serum retinol balita yang dibuktikan dengan persentase subyek penelitian yang menerima tablet vitamin A periode Februari, ± 3-4 bulan sebelum studi sebesar 89,0%. Beberapa ahli menyebutkan bahwa pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi
dapat memenuhi kebutuhan vitamin A sampai 3 bulan ke depan. Akibatnya ketersediaan cadangan retinol di hati pada studi ini relatif cukup dan tambahan asupan vitamin A setengah dari kebutuhan saja, maka akan dapat
meningkatkan status vitamin A.
Apabila di lihat perbedaan rata-rata kadar
serum retinol, setelah dikelompokkan berdasarkan umur dan status menyusu, menunjukkan bahwa balita pada umur 6-23bulan dan masih diberikan ASI memiliki mean difference (IK95%) 3,91(- 0,09;7,92) lebih besar dibandingkan balita pada umur yang sama tetapi tidak diberikan ASI
dengan mean difference (IK95%) -0,55(-8,09;6,98) (label 4). Hal yang sama juga terjadi pada kelompok umur 24-59 bulan, dimana mean difference (IK95%) lebih besar pada balita yang diberikan ASI dibandingkan yang tidak diberikan ASI. Walaupun perbedaan tidak signifikan, tetapi dapat kita lihat bahwa faktor ASI memiliki kontribusi yang besar dalam memenuhi kebutuhan vitamin A subyek, terutama pada kelompok stunting.
3.    Beberapa Confounding Factor dan Efek Modifikasi yang mempengaruhi Defisiensi Vitamin A dan Zinc dengan Kejadian Stunting
Setelah dilakukan analisis confounding factor dan efek modifikasi melalui tahapan stratifikasi, ternyata hubungan antara status vitamin A dan kejadian stunting lemah (p=0,58) karena tidak terpengaruh oleh faktor luar dari variabel yang diduga mempengaruhi hubungan keduanya. Faktor umur, status menyusu dan status anemia setelah dilakukan stratifikasi menurut kelompok berisiko dan tidak berisiko, ternyata tidak menunjukkan pengaruhnya sebagai faktor penggangu karena OR Mantel Haenszel lebih kecil atau hampir sama dengan Crude OR nya. Variabel yang diduga menjadi variabel pengganggu ternyata hanya berupa efek modifikasi saja. Hasil analisis (label 5), menunjukkan bahwa pada stratifikasi variabel
umur OR1 > OR2 (1,52> 0,62), dan stratifikasi variabel status menyusu OR1 > OR2 (1,48>0,47). Artinya variabel umur dan status menyusu merupakan efek modifikasi saja, yaitu memperkuat atau memperlemah hubungan kedua variabel yang diteliti yaitu defisiensi vitamin A dengan kejadian stunting. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan di Purworejo yang menyebutkan bahwa faktor umur dan status menyusu sebagai efek modifikasi.
Sama halnya dengan hubungan defisiensi
vitamin A dan kejadian stunting, maka hubungan defisiensi zinc dengan kejadian stunting juga dilakukan stratifikasi untuk menganalisis apakah
faktor umur, status menyusu dan status anemia merupakan confounding factor.
Hasil analisis (label 6) menunjukkan bahwa pada stratifikasi variabel umur, status menyusu dan status anemia tidak kuat menggangu hubungan defisiensi zinc dengan kejadian stunting, karena nilai OR Mantel Haenszel <
Crude
OR nya.Ketiga faktor tersebut juga bukan sebagai efek modifikasi.
4.    Analisis Regresi Logistik Berganda Faktor Risiko Kejadian Stunting
Beberapa variabel sebagai faktor risiko kejadian stunting, yang ikut dalam analisis multivariat menunjukkan bahwa status menyusu berhubungan secara bermakna dengan kejadian stunting pada balita [p=0,03 dan OR (IK 95%)= 2,06 (1,06 ; 4,02)]. Artinya balita yang tidak diberikan ASI lagi mempunyai kemungkinan 2 kali lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan balita yang masih diberikan ASI, atau pemberian ASI protektif terhadap risiko terjadinya stunting pada balita (label 7). Hasil ini
sejalan dengan penelitian yang mengatakan bahwa pertambahan panjang badan secara signifikan bertambah baik pada tahun ke -2 dan ke -3 pada anak yang mendapat AST lebih lama daripada anak-anak yang disapih pada tahun ke -2, atau sebaliknya semakin dini balita tidak lagi mendapat ASI, pertambahan panjang badan lebih rendah dibandingkan dengan yang mendapat ASI, akibatnya peluang terjadinya stunting menjadi lebih besar. Beberapa penelitian lain yang juga mendukung menyebutkan bahwa balita stunting, yang berumur 18 bulan atau kurang, dan menyusu pada awal studi, setelah di follow up 18 bulan memiliki risiko 31% (RR 0,69., IK95% 0,63;0,84) lebih kecil terjadinya stunting dibandingkan balita yang tidak menyusu'20'', dan efek positif menyusu sampai lebih dari 6 bulan terhadap pertumbuhan linier'2. Namun berbeda dengan beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa peluang stunting lebih besar (77%) pada bayi yang disapih lebih dari 6 bulan (22). Perbedaan yang terjadi pada studi di atas disebabkan karena mereka yang stunting tersebut tidak mendapat imunisasi lengkap pada tahun pertama dan tinggal/hidup dalam kemiskinan. Demikian juga studi di Mexico yang mengatakan bahwa di antara subyek yang tinggal di perkotaan, menyusu lebih lama (> 6 bulan) meningkatkan risiko stunting 1,71 kali lebih besar dibandingkan dengan yang menyusu < 6 bulan^. Pada studi ini membedakan antara balita di perkotaan dan di pedesaan, sehingga kemungkinan adanya faktor-faktor lain dalam pola asuh pada kedua kelompok tersebut menjadi berbeda misalnya akses terhadap pelayanan kesehatan dan kemiskinan.
Hal lain yang diduga berhubungan dengan risiko kejadian stunting di antara balita yang tidak diberikan ASI lagi, karena rendahnya asupan dari luar sebagai pengganti ASI atau MP-ASI. Dalam studi ini terlihat perbedaan yang signifikan pada asupan zinc pada balita yang tidak diberikan ASI lagi antara kelompok stunting dan normal (Tabel 10). Artinya hasil tersebut membuktikan bahwa peranan ASI cukup penting dalam memenuhi kebutuhan asupan zat gizi terutama gizi mikro. Kemungkinan lain tingginya stunting adalah faktor genetik dan gangguan lain yang terjadi selama kehamilan, tetapi pada penelitian ini tidak diamati.
E.  Kesimpulan
Defisiensi vitamin A dan zinc bukan sebagai faktor risiko terjadinya stunting pada balita di Provinsi NTB. Umur anak dan status menyusu merupakan efek modifikasi hubungan status vitamin A dengan kejadian stunting. Variabel yang bermakna secara sendiri maupun bersamaan sebagai faktor risiko terjadinya stunting di Provinsi NTB adalah status menyusu. Balita yang tidak lagi menyusu mempunyai risiko 2 kali lebih besar mengalami stunting dibandingkan balita yang masih menyusu. Di antara balita yang tidak diberikan ASI lagi, ditemukan asupan zinc yang berbeda pada kelompok stunting dan normal.


DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S (2005) Prinsip Dasar Ilmu Gizi.Gramedia: Jakarta
Atmarita (2005) Nutrition Problem ini Indonesia; Articel; An Integrated International Seminar and Workshop on Lifesytle-Related Diseases-UGM. 19-20 March 2005. [Accessed 5 Juli 2007].
Kjolhede, C.L., Stalling, R.Y., Dibley, M.J., Sadjimin, T., Dawiesah, S., and Padmawati, S. (1995). Serum Retinol Levels among Preschool Children in Central Java: Demographic and Socioeconomic Determinants. International Journal of Epidemiology. 24 (2): pp 399-403.
Herman, S. (2007) Studi Masalah Gizi Mikro di Indonesia (Perhatian Khusus pada Kurang Vitamin A, Anemia dan Seng). Laporan Penelitian. Bogor. Puslitbang Gizi.
Dijkhuizen, M.A., Wieringa, F.T., West, C.E. and Muhilal (2004) Zinc plus (3-carotene supplementation of pregnant women is superior to p-carotene supplementation alone in improving vitamin A status in both mothers and infant. Am J. Clin Nutr. pp 80:1299^1307. [Accessed 12 April 2007]
Hagnyonowati., Purwaningsih, Edan Widajanti, L (2005) Risiko Defisiensi Seng dan Vitamin A terhadap Kemampuan Adaptasi Gelap. In PERSAGI eds. Presiding Temu Ilmiah Konggres XIII Persagi 2005: Jakarta. Pp 244-253.
Bhutta, Z.A., Ahmed, T., Black, R.E., Cousens, S., Dewey, K., Giugliani, E., Haider,
B.A., Kirkwood, B., Marris, S.S.., Sachdev, H.P.S.,
and Shekar, M. (2008) Mathernal and Child Undernutrition 3, What works? Interventions for Maternal and Child Undernutrition and Survival; www.thelancet.com; [Accessed January 17, 2008].
Adhi, K.T. (2008). Perbedaan Pertumbuhan Linier (TB/U), Kadar Seng dan Kadar Creactive Protein (CRP) pada Balita dengan Kadar Serum Retinol Normal dan Tidak Normal. Tesis. Universitas Airlangga Surabaya.
Depkes (2006). Gizi dalam Angka sampai Tahun 2005. Jakarta.
Guno, M.J.V. (2004). Status Gizi Ibu dan Anak di Filipina. In Hardinsyah dan Puruhita, A. eds. Presiding Inovasi Pangan dan Gizi untuk Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak, Mei 10-11, 2004, Jakarta-Indonesia, American Soybean Association, pp.65-77.
Dinkes Prop NTB (2007a) Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Propinsi NTB tahun 2006: Mataram.
Adair, L.S and Guilkey, D.K (1997) GageSpecific Determinants of Stunting in Filipino Children. The Jurnal Of Nutrition, pp 314- 320 [Accessed 20 February 2009].
Reyes, H., Cuevas, R.P., Sandoval, A., Castillo, R., Santos., J.I., Doubova, S.V. and
Gutierrez, G. (2004) The Family as a Determinant of Stunting in Children Living in Conditions of Extreme Poverty: A CaseControl Study. BMC Public
Health.http:/www.biomedcentral.com/1471- 2458/4/57/prepub.
Gibson (2005). Principles of Nutrition Assesment. New York. Oxford University.
West, K.P., Gernand, A.D. and Sommer, A (2007) Vitamin A in Nutritional Anemia. In Kraemer, K and Zimmermann, M.B Nutritional Anemia (Internet). Basel,
Switzerland. Sight and Life Press. www.sightandlife.org [Accessed 6 Juni 2008].
Murti, B (1997) Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Gadjah mada University Press: Jogjakarta.
Muhilal dan Sulaeman, A (2004) Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak. In Soekirman, et al. eds. Presiding Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. WNPG. 17-19 Mei 2004. Jakarta, LIPI. pp 331-342.
Hadi, H., Stoltzfus, R.J., Dibley, M.J., Moulton, L.H., West, KP., Kjolhede, J.C.L
and Sadjimin, T (2000). Vitamin A Supplementation Selectively, Improves the
Linear Growth of Indonesia Preschool Children. Am. J. Clin. Nutr. 71: pp 507-513. [Accessed 23 Maret 2009].
Simondon, K.B., Simondon, F., Costes, R.,Delaunay, V. and Diallo, A. (2001) Breastfeeding is Associated With Improved Growth in Length, but not Weight, in Rural Senegalese Toddlers. Am J Clin Nutr. Pp 73:959-67.
Sedgh, G., Herrera, M.G., Nestel, P., Amin, A. and Fawzi, W.W (2000) Dietary Vitamin A Intake and Nondietary Factors Are Associated with Reversal Of Stunting in Children. The Journal of Nutrition, pp 2520- 2526 [Accessed 26 Nopember 2008].
Alvarado, B.E., Zunzunegui, M.V., Delisle, H.,and Osorno, J (2005) Growth Trajectories Are Influenced by Breast-Feeding and Infant Health in an Afro-Colombian Cummunity. The Journal Of Nutrition, pp 2171-2178 [Accessed 23 Desember 2008].
Padmadas, S.S., Hutter, I. and Willekens, F. (2002) Weaning Initiation Patterns and Subsequent Linier Growth Progression Among Children Aged 2-4 Years In India. International Journal of Epidemiology; 31; pp. 855-863.


Gizi Kesehatan Masyarakat
“Tugas Resume”



Nama : Christian Sepriadi
NIM  : N 201 16 065
Kelas : A


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
2018



A.  Pengertian Kekurangan Vitamin A (KVA)
Kekurangan Vitamin A (KVA) adalah penyakit yang disebabkan oleh kurangnya asupan vitamin A yang memadai. Hal ini dapat menyebabkan rabun senja, xeroftalmia dan jika kekurangan berlangsung parah dan berkepanjangan akan mengakibatkan keratomalasia (Arisman. 2002).
Sedangkan menurut Arisman tahun 2002, Kurang Vitamin A (KVA) merupakan penyakit sistemik yang merusak sel dan organ tubuh dan menghasilkan metaplasi keratinasi pada epitel, saluran nafas, saluran kencing dan saluran cerna. Penyakit Kurang Vitamin A (KVA) tersebar luas dan merupakan penyebab gangguan gizi yang sangat penting. Prevalensi KVA terdapat pada anak-anak dibawah usia lima tahun. Sampai akhir tahun 1960-an KVA merupakan penyebab utama kebutaan pada anak.
B.   Prevalensi Kekurangan Vitamin A (KVA)
Kurang vitamin A (KVA) di Indonesia masih merupakan masalah gizi utama. Meskipun KVA tingkat berat (xeropthalmia) sudah jarang ditemui, tetapi KVA tingkat subklinis, yaitu tingkat yang belum menampakkan gejala nyata, masih menimpa masyarakat luas terutama kelompok balita. KVA tingkat subklinis ini hanya dapat diketahui dengan memeriksa kadar vitamin A dalam darah di laboratorium. Masalah KVA dapat diibaratkan sebagai fenomena “gunung es” yaitu masalah xeropthalmia yang hanya sedikit tampak dipermukaan (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2012).
Kekurangan vitamin A atau KVA merupakan salah satu masalah gizi yang ada di negara berkembang. Asia Tenggara memiliki prevalensi KVA balita tertinggi dibandingkan dengan wilayah lain seperti Afrika, Amerika, Eropa, Timur Tengah dan Pasifik Barat. Di Indonesia masalah kekurangan vitamin A pada tahun 2011 sudah dapat dikendalikan, namun secara subklinis prevalensi kekurangan vitamin A terutama pada kadar serum retinol dalam darah kurang dari 20μg/dl masih mencapai 0,8% (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2012).
Angka kebutaan di Indonesia tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan survai kesehatan indera penglihatan dan pendengaran tahun 1993-1996 menunjukkan angka kebutaan di Indonesia 1,5 % dari jumlah penduduk atau setara dengan 3 juta orang. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding Bangladesh (1%), India (0,7 %), dan Thailand (0,3 %) (Gsianturi, 2006).
Hasil Studi Masalah Gizi Mikro di 10 propinsi yang dilakukan Puslitbang Gizi dan Makanan Departemen Kesehatan RI pada Tahun 2006  memperlihatkan balita dengan Serum Retinol kurang dari 20μg/dl adalah sebesar 14,6%. Hasil studi tersebut  menggambarkan terjadinya penurunan bila dibandingkan dengan Survei Vitamin A Tahun 1992 yang menunjukkan 50% balita mempunyai serum retinol kurang dari 20 μg/dl. Oleh karena itu, masalah kurang Vitamin A (KVA) sudah tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi karena berada di bawah 15% (batasan IVACG). Hal tersebut salah satunya berkaitan dengan strategi penanggulangan KVA dengan pemberian suplementasi Vitamin A yang dilakukan setiap bulan Februari dan Agustus (Bulan Kapsul Vitamin A) (buku panduan suplemen vit. A).
Kekurangan vitamin A dalam makanan sehari-hari menyebabkan setiap tahunnya sekitar 1 juta anak balita di seluruh dunia menderita penyakit mata tingkat berat (xeropthalmia) ¼ diantaranya menjadi buta dan 60 % dari yang buta ini akan meninggal dalam beberapa bulan. Kekurangan vitamin A menyebabkan anak berada dalam resiko besar mengalami kesakitan, tumbuh kembang yang buruk dan kematian dini. Terdapat perbedaan angka kematian sebesar 30 % antara anak-anak yang mengalami kekurangan vitamin A dengan rekan-rekannya yang tidak kekurangan vitamin A (Unicef, 2011).
C.  Indikator Kekurangan Vitamin A (KVA)
Indikator Klinis dan gejala Kurang vitamin A (KVA) adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epiteldari organ-organ seluruh tubuh, termasuk paru-paru, usus, mata dan organ lain, akan tetapi gambaran yang karakteristik langsung terlihat pada mata. Kelainan kulit pada umumnya tampak pada tungkai bawah bagian depan dan lengan atas bagian belakang, kulit tampak kering dan bersisik seperti sisik ikan. Kelainan ini selain disebabkan karena KVA dapat juga disebabkan karena kekurangan asam lemak essensial, kurang vitamin golongan B atau Kurang Energi Protein (KEP) tingkat berat atau gizi buruk.Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA yang telah berlangsung lama. Gejala tersebut akan lebih cepat timbul bila anak menderita penyakit campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya (Murray,2009).
Indikator biologis, fungsional dan histologis status vitamin A meliputi xerophthalmia, rabun senja, sitologi konjunctiva serta tes adaptasi gelap (adaptometry). Saat ini, buta senja selama kehamilan dan tes adaptasi gelap telah diusulkan sebagai metode penilaian populasi oleh IVACG pada tahun 2001. Sementara tes tanda dan fungsi mata masih digunakan pada daerah dimana terjadi kekurangan vitamin A yang berat, kekurangan vitamin A subklinis lebih sering terjadi (Murray,2009).
D.  Gambaran Klinis KVA
Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA yang telah berlangsung lama. gejala tersebut akan lebih cepat muncul jika menderita penyaki campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya.
Gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO (
/USAID/UNICEF / HKI/ IVACG, 1996) sebagai berikut :
1.      Buta senja = XN
Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina. Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang remang-remang setelah lama berada di cahaya yang terang. Penglihatan menurun pada senja hari, dimana penderita tidak dapat melihat lingkungan yang kurang cahaya.
2.      Xerosis konjunctiva = XI A.
Selaput lendir mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam.
3.      Xerosis konjunctiva dan bercak bitot = XI B.
Gejala XI B adalah tanda-tanda XI A ditambah dengan bercak bitot, yaitu bercak putih seperti busa sabun atau keju terutama celah mata sisi luar. Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang merupakan tanda khas pada penderita xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai penentuan prevalensi kurang vitamin A pada masyarakat. Dalam keadaan berat tanda-tanda pada XI B adalah, tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan konjunctiva, konjunctiva tampak menebal, berlipat dan berkerut.
4.      Xerosis kornea = X2.
Kekeringan pada konjunctiva berlanjut sampai kornea, kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
5.      Keratomalasia dan Ulcus Kornea = X3 A ; X3 B.
Kornea melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus. Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea.
Keratomalasia dan tukak kornea dapat berakhir dengan perforasi dan prolaps jaringan isi bola mata dan membentuk cacat tetap yang dapat menyebabkan kebutaan. Keadaan umum yang cepat memburuk dapat mengakibatkan keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus melalui tahap-tahap awal xeroftalmia.
6.      Xeroftalmia Scar (XS) = jaringan parut kornea.
Kornea tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengecil. Bila luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas berupa sikatrik atau jaringan parut. Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok kornea.
7.      Xeroftalmia Fundus (XF).
Dengan opthalmoscope pada fundus tampak gambar seperti cendol.
E.  Etiologi KVA
Arisman (2002) menyatakan bahwa KVA bisa timbul karena menurunnya cadangan vitamin A pada hati dan organ-organ tubuh lain serta menurunnya kadar serum vitamin A dibawah garis yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan metabolik bagi mata. Vitamin A diperlukan retina mata untuk pembentukan rodopsin dan pemeliharaan diferensiasi jaringan epitel. Gangguan gizi kurang vitamin A dijumpai pada anak-anak yang terkait dengan : kemiskinan, pendidikan rendah, kurangnya asupan makanan sumber vitamin A dan pro vitamin A (karoten), bayi tidak diberi kolostrum dan disapih lebih awal, pemberian makanan artifisial yang kurang vitamin A. Pada anak yang mengalami kekurangan energi dan protein, kekurangan vitamin A terjadi selain karena kurangnya asupan vitamin A itu sendiri juga karena penyimpanan dan transpor vitamin A pada tubuh yang terganggu.
Kelompok umur yang terutama mudah mengalami kekurangan vitamin A adalah kelompok bayi usia 6-11 bulan dan kelompok anak balita usia 12-59 bulan (1-5 tahun). Sedangkan yang lebih berisiko menderita kekurangan vitamin A adalah bayi berat lahir rendah kurang dari 2,5 kg, anak yang tidak mendapat ASI eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia 2 tahun, anak yang tidak mendapat makanan pendamping ASI yang cukup, baik mutu maupun jumlahnya, anak kurang gizi atau di bawah garis merah pada KMS, anak yang menderita penyakit infeksi (campak, diare, TBC, pneumonia) dan kecacingan, anak dari keluarga miskin, anak yang tinggal di dareah dengan sumber vitamin A yang kurang, anak yang tidak pernah mendapat kapsul vitamin A dan imunisasi di posyandu maupun puskesmas, serta anak yang kurang/jarang makan makanan sumber vitamin A (Arisman, 2002).
Terjadinya kekurangan vitamin A berkaitan dengan berbagai faktor dalam hubungan yang kompleks seperti halnya dengan masalah kekurangan kalori protein (KKP). Makanan yang rendah dalam vitamin A biasanya juga rendah dalam protein, lemak dan hubungannya antara hal-hal ini merupakan faktor penting dalam terjadinya kekurangan vitamin A.
Kekurangan vitamin A bisa disebabkan seorang anak kesulitan mengonsumsi vitamin A dalam jumlah yang banyak, kurangnya pengetahuan orang tua tentang peran vitamin A dan kemiskinan. Sedangkan untuk mendapatkan pangan yang difortifikasi bukan hal yang mudah bagi penduduk yang miskin. Karena, harga pangan yang difortifikasi lebih mahal daripada pangan yang tidak difortifikasi (Supariasa, 2002).
F.   Konsekuensi KVA
Meskipun konsekuensi KVA tidak digambarkan, namun data terakhir menunjukkan bahwa KVA pada wanita usia reproduksi dapat meningkatkan resiko kesakitan dan kematian selama kehamilan dan  periode awal postpartum. KVA yang berat pada maternal juga memberikan kerugian bagi anak baru lahir karena dapat akibatkan peningkatan kematian dibulan pertama kehidupan. Sebagai konsekuensi dari meningkatnya pemahaman tentang  KVA maka sangat penting bahwa beban kesehatan yang dihasilkan dikuantifikasi setepat mungkin, sebagai dasar tindakan dan pemantauan serta evaluasi program pencegahan selanjutnya. terutama dengan menggabungkan dan mengekstrapolasikan data prevalensi dari negara dimana telah dikumpulkan dalam populasi dengan profil demografis yang sama dan risiko yang telah diantisipasi. Dalam beberapa tahun terakhir, KVA telah diperkirakan mempengaruhi antara 75 dan 254 juta anak prasekolah setiap tahun, jauh dari jarak  yang akurat. Tidak ada perkiraan permasalahan kesehatan global KVA ibu atau adanya insidensi tahunan kebutaan malam ibu (Yunita satya pratiwi, 2013).
G.  Pencegahan dan Penanggulangan KVA di Indonesia
Menurut Susilowati Herman, (2007),  Pencegahan dan penanggulangan KVA yaitu:
1.      Meningkatkan konsumsi atau memperbanyak makan makanan sumber vitamin A alami baik dari sumber sel hewani maupun nabati. Contoh : bahan makan yang tinggi vitamin A (minyak ikan, hati sapi, telur ayam, pepaya kuning, pisang ambon, tomat masak, wortel, sawi, ubi rambat merah, daun katu dll)
2.      Fortifikasi yaitu menambahkan vitamin A pada bahan makanan yang dimakan terutama oleh golongan yang mudah terkena kurang vitamin A. Misalnya menambahkan vitdamin A pada susu, biskuit dan makanan- makanan lainnya.
Adapun Penanggulangan KVA, yaitu:
Penanggulangan masalah Kurang Vitamin A (KVA) pada anak Balita sudah dilaksanakan secara intensif sejak tahun 1970-an, melalui distribusi kapsul vitamin A setiap 6 bulan, dan peningkatan promosi konsumsi makanan sumber vitamin A. Dua survei terakhir tahun 2007 dan 2011 menunjukkan, secara nasional proporsi anak dengan serum retinol kurang dari 20 ug sudah di bawah batas masalah kesehatan masyarakat, artinya masalah kurang vitamin A secara nasional tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA
Arisman. 2002. Gizi dalam daur kehiduan. Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Palembang. Proyek peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Gsianturi. 2006. Child Malnutrition In Indonesia. Bulletin Of Indonesia Economic Studies. Nuss, E.T. and Tanumihardjo, S.A. 2011. Quality Protein Maize for Africa: Closing the protein Inadequacy Gap in Vulnerable Populations. American Society for Nutrition. Adv.Nutr.2:217-224.
Murray, Robert K., Daryl K. Granner, dan Victor W. Rodwell. 2009. Biokimia Harper. Edisi ke-27. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 506.
Supariasa. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta, EGC, 2002.
Susilowati Herman, 2007 “MASALAH KURANG VITAMIN A (KVA) DAN PROSPER PENANGGULANGANNYA”, Media Litbang Kesehatan Volume XIII Nomor 4.
UNICEF. 2011.  Adolescence An Age of Opportunity.United Nations Children's Fund.
WHO and UNICEF. 1996. A Strategy for Acceleration of  Progress in Combating Vitamin A Deficiency, New York.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2012. WNPG untuk Ketahanan Pangan Indonesia, Jakarta.
Yunita Satya Pratiwi, 2013, “KEKURANGAN VITAMIN A (KVA) DAN INFEKSI”, THE INDONESIAN JOURNAL OF HEALTH SCIENCE”, Vol. 3, No. 2.

Posting Komentar

0 Komentar