PEMBIAYAAN KESEHATAN
Indonesia masih
mengalami keterlambatan dalam proses realisasi pencapaian Tujuan Pembangunan
Millenium (TMP)/ Millenium Development Goals (MDG's).
Terlihat pada masih tingginya angka kematian ibu melahirkan, masih rendahnya
kualitas sanitasi & air bersih, laju penularan HIV/AIDS yang kian sulit
dikendalikan, serta meningkatnya beban utang luar negeri yang kian menumpuk.
Permasalahan tersebut jelas memberikan pengaruh pada kualitas hidup manusia
Indonesia yang termanifestasi pada posisi peringkat Indonesia yang kian menurun
pada Human Development Growth Index. Pada tahun 2006 Indonesia menyentuh
peringkat 107 dunia, 2008 di 109, hingga tahun 2009 sampai dengan 2010 masih di
posisi 111. Posisi Indonesia ternyata selisih 9 peringkat dengan Palestina yang
berada di posisi 101. Sulit dipungkiri, dan sungguh ironis (Progres
Report in Asia & The Pacific yang diterbitkan UNESCAP).
Khusus masalah
pembiayaan kesehatan per kapita. Indonesia juga dikenal paling rendah di
negara-negara ASEAN. Pada tahun 2000, pembiayaan kesehatan di Indonesia sebesar
Rp. 171.511, sementara Malaysia mencapai $ 374. Dari segi capital expenditure
(modal yang dikeluarkan untuk penyediaan jasa kesehatan) untuk sektor
kesehatan, pemerintah hanya mampu mencapai 2,2 persen dari GNP sementara
Malaysia sebesar 3,8 persen dari GNP. Kondisi ini masih jauh dibanding Amerika
Serikat yang mampu mencapai 15,2 persen dari GNP pada 2003.
Masalah-masalah yang terjadi pada JKN dan penyebabnya:
1. Ketidakmerataan
ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan kondisi geografis,
menimbulkan masalah baru berupa ketidakadilan antara kelompok masyarakat.
Penyebab:
Kurangnya fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan
sulitnya menjangkau fasilitas kesehatan karena kondisi geografis. Sebagai gambaran
di Indonesia timur: Di daerah kawasan timur yang jumlah providernya
terbatas dan aksesnya kurang menyebabkan kurangnya supply (penyediaan
layanan oleh pemerintah dan pihak lain), sehingga akan muncul kesulitan
terhadap akses ke fasilitas kesehatan. Hal ini berimbas pada masyarakat di
wilayah Indonesia bagian timur yang tidak memiliki banyak pilihan untuk berobat
di fasilitas kesehatan. Sementara di wilayah Indonesia bagian barat dimana
ketersediaan providernya banyak, diperkirakaan pemanfaatan provider akan
lebih banyak dan benefit package yang
tidak terbatas. Hal yang mengkhawatirkan adalah tanpa adanya
peningkatan supply di Indonesia bagian timur, dana BPJS Kesehatan
akan banyak dimanfaatkan di daerah-daerah perkotaan dan di wilayah Indonesia
Barat. Situasi inilah yang membutuhkan kegiatan monitoring dengan seksama.
2. Buruknya pelayanan yang diberikan
Penyebab:
Salah satu hal utama yang menyebabkan buruknya pelayanan itu
adalah mekanisme pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan yaitu INA-CBGs.
Mekanisme kendali mutu dan biaya yang diatur lewat Permenkes Tarif JKN itu
mengelompokan tarif pelayanan kesehatan untuk suatu diagnosa penyakit tertentu
dengan paket. Sayangnya, mekanisme pembiayaan yang dikelola Kementerian
Kesehatan itu dinilai tidak mampu memberikan pelayanan terbaik bagi peserta
BPJS Kesehatan. Sehingga fasilitas kesehatan yang selama ini melayani peserta
JPK Jamsostek dan Askes enggan memberikan pelayanan. Serta adanya permenkes
tentang Tarif JKN yang intinya mengatur paket biaya dalam INA-CBGs. Lewat
sistem itu Kemenkes membatasi biaya pelayanan kesehatan peserta.
Mengatasi masalah system pembiayaan kesehatan diatas:
3. Ketidakmerataan BPJS
Jaminan
Kesehatan Nasional/JKN adalah amanah UUD 1945. Ketidakmerataan BPJS ke pelosok
negeri terutama daerah Indonesia timur dapat diatasi dengan cara:
Pertama,
pemerintah harus segera merealisasikan anggaran minimal 10% dari APBN 2014
untuk pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan diprioritaskan
untuk peningkatan mutu fasilitas pelayanan kesehatan, SDK, dan pemerataan
tenaga kesehatan ke seluruh pelosok negeri. Sehingga dengan begitu BPJS dapat
berjalan dengan baik dan dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat Indonesia
secara adil dan merata tanpa menguntungkan salah satu kelompok masyarakat.
Kedua, pemerintah bisa melibatkan
organisasi profesi seperti IDI, PPNI, dan organisasi sosial masyarakat jika JKN
ingin sukses. Organisasi profesi mempunyai sumber daya dan perangkat organisasi
yang memadai serta keterlibatan organisasi profesi juga bisa memberikan
pemahaman tentang besarnya kapitasi dan jasa medis yang layak bagi tenaga
kesehatan.
Mengatasi buruknya pelayanan
kesehatan yang diberikan:
Mengganti mekanisme pembiayaan dari INA-CBGs menjadi Fee For
Service seperti yang digunakan sebelumnya oleh PT Jamsostek agar jaringan
fasilitas kesehatan yang selama ini bekerjasama mau melayani peserta BPJS
Kesehatan. Serta Menkes harus mengubah regulasi Permenkes tentang Tarif JKN
tersebut karena menghambat pelayanan peserta.
(sumber:
Suparyanto. 2014. Pembiayaan Kesehatan. (http://drsuparyanto.blogspot. co.id/2014/07/pembiayaan-kesehatan.html).
Diakses pada tanggal 13 Desember 2015. Pukul 22. 35 WITA)
0 Komentar