Iklan atas - New

strategi pengelolaan air dengan sistem komunal dan sistem non komunal

strategi pengelolaan air dengan sistem komunal dan sistem non komunal
Sistem pengelolaan terpusat/komunal lebih sesuai diterapkan di kota-kota di Indonesia karena di samping lebih menguntungkan dari sisi pengoperasian dan perawatan, juga menjadi solusi bagi daerah dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Selain itu, faktor sumber daya manusia yang meliputi kemauan dan kemampuan masyarakat, factor ekonomi serta komitmen kebijakan politik suatu daerah juga dapat mempengaruhi efektifitas pengelolaan air limbah sistem terpusat/komunal.
Konsep pengelolaan berbasis masyarakat (Community Based Management) saat ini dianggap sebagai konsep yang sesuai dalam menjalankan program pembangunan sarana sanitasi khususnya sarana pengolahan air limbah domestik di wilayah perkotaan (urban) dan perdesaan (peri urban) di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Konsep ini menitikberatkan pada keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pembangunan hingga operasional dan pemeliharaan sehingga diharapkan timbul rasa memiliki dari masyarakat terhadap fasilitas yang ada. Berbagai penyesuaian dilakukan agar pelaksanaan pengelolaan berbasis masyarakat ini dapat berjalan secara optimal, dan tujuan utama yaitu peningkatan taraf hidup masyarakat dan penurunan beban pencemar juga tercapai. Penyesuaian dilakukan dengan berbagai pertimbangan mulai dari pemilihan teknologi yang tepat dan dapat diterima oleh masyarakat, pola kelembagaan hingga pola partisipasi masyarakat sesuai agar pengelolaan sistem dapat berjalan. Namun, tentunya hal tersebut membutuhkan waktu yang tidak pendek dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang ada. Di sisi lain, pemerintah dituntut dalam pencapaian target MDG’s pada tahun 2015 sebesar 62,41% rumah tangga di Indonesia harus mendapatkan akses layanan sanitasi yang layak dan berkelanjutan. Menurut Bappenas (2012), pencapaian target MDG’s pada tahun 2011 khususnya propos rumah tangga di perkotaan dan perdesaan dengan akses sanitasi yang layak dan berkelanjutan masih mencapai 55,60% (perkotaan sebesar 72,54% dan perdesaan sebesar 38,97%).
Hal ini menunjukkan perlu upaya percepatan pembangunan di bidang sarana sanitasi. Tantangan lain yang dihadapi adalah jumlah penduduk di Indonesia yang setiap tahun terus meningkat. Berdasarkan hasil proyeksi penduduk selama 25 tahun ke depan, jumlah penduduk Indonesia yang sebelumnya 219,8 juta pada tahu 2005 meningkat menjadi 270,5 juta pada tahun 2025 dengan sebaran penduduk yang tidak merata (Bappenas, 2008). Hal ini akan berdampak terhadap semakin terbatasnya ketersediaan lahan bagi permukiman dan potensi peningkatan beban pencemaran, baik pada air permukaan maupun air bawah tanah. Fatnasari dan Hermana (2010) menyatakan bahwa penurunan kualitas air sungai 60% disebabkan buangan air limbah permukiman, sedangkan pencemaran terhadap air bawah tanah disebabkan karena potensi kebocoran dari septictank yang cukup tinggi. Kondisi ini diperkuat oleh penelitian Sudjonoet al. (2010) di Jawa Timur yang menyatakan bahwa septictank yang ada di masyarakat pada umumnya jarang dikuras setelah lebih dari 15 tahu beroperasi. Melihat fenomena tersebut, program pembangunan sarana sanitasi khususnya sarana pengolahan air limbah dengan konsep pengelolaan berbasis masyarakat yang telah dilaksanakan selama ini disinyalir lebih mengedepankan penyediaan sarana fisik saja tanpa memperhatikan kesiapan sumber daya manusia di tingkat lokal yang akan menjadi pengelola sarana tersebut, sehingga tidak ada jaminan terhadap keberlanjutan system pengelolaannya.
Non komunal
Pengelolaan individual adalah pengelolaan air limbah yang dilakukan secara sendiri-sendiri pada masing-masing rumah terhadap air limbah yang di hasilkan.
Permasalahan pencemaran air di kali pekalongan yang dihadapi saat ini adalah selain kurangnya efesiensi pengelolaan IPAL komunal yang ada juga kapsitas IPAL belum bias mengolah produksi limbah cair batik secara keseluruhan. Masih banyak pengrajin batik skala rumahan atau usaha kecil menegah (UKM) yang membuang air limbahnya langsung ke sungai, oleh karena itu masih diperlukan adanya IPAL batik individual untuk menanggulangi limbah cair batik yang belum terolah oleh IPAL batik.
Komunal yang sudah dibangun, pembuatan IPAL batik individual juga merupakan hasil studi Mratihatani, (2013) yang menyebut bahwa salah satu strategi pengelolaan sungai pekalongan menuju sungai bersih yang sangat mendesak adalah dengan melakukan pengadaan IPAL skala individual, karena bila harus menambah jumlah IPAL komunal yang ada biayanya akan mahal karena ada biayanya akan mahal karena harus ada pembebasan yang cukup luas.

Posting Komentar

0 Komentar