Iklan atas - New

Paper Gizi Kesehatan Masyarakat | contoh peper


Paper Gizi Kesehatan Masyarakat

Anemia Gizi Besi
1.      Di suatu kota seorang perempuan berusia 20 tahun BB:42 dan TB:157, sedang menjalani proses perkuliahan di suatu kampus, ia adalah seorang mahasiswa yang aktif di organisasi, aktivitas yang padat membuat pola makannya tidak teratur bahkan terkadang hanya makan mie instan untuk memenuhi laparnya, untuk sarapan saja dia hanya sempat minum segelas teh, selain itu ia jarang tidur karena mengerjakan tugas menumpuk di malam hari ditemani segelas kopi atau coklat hangat . Sejak pagi tadi pagi wajah dan tangannya pucat, sebelum berangkat kampus dia mengeluhkan sakit kepala, mudah mengantuk, apabila ia berdiri tiba-tiba maka penglihatannya akan hitam dan berkunang-kunang, dan akhirnya ia pingsan di kelas. Setelah diperiksa ternyata kadar Hbnya 8 gr/dl dan kadar ferritin serumnya 10 mg/L.
Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan dapat disebabkan oleh bermacam-macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia ringan hingga sedang mungkin tidak menimbulkan gejala objektif, namun dapat berlanjut ke keadaan anemia berat dengan gejala-gejala keletihan, takipnea, napas pendek saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal jantung (Amalia & Tjiptaningrum, 2016). Dikutip dalam????
2.      Wanita tersebut termasuk dalam jenis anemia apa? Gejala klinis apa yang ditunjukkan pada wanita tersebut?
Wanita tersebut termasuk dalam anemia defisiensi besi, Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah (Masrizal, 2009).
Gejala klinis dari keadaan deplesi besi maupun defisiensi besi tidak spesifik.  Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu penurunan kadar feritin/saturasi transferin serum dan kadar besi serum. Pada ADB gejala klinis terjadi secara bertahap.  Kekurangan zat besi di dalam otot jantung menyebabkan terjadinya gangguan kontraktilitas otot organ tersebut. Pasien ADB akan menunjukkan peninggian ekskresi norepinefrin; biasanya disertai dengan gangguan konversi tiroksin menjadi triodotiroksin. Penemuan ini dapat menerangkan terjadinya iritabilitas, daya persepsi dan perhatian yang berkurang, sehingga menurunkan prestasi belajar kasus ADB. Perilaku yang aneh berupa pika, yaitu gemar makan atau mengunyah benda tertentu antara lain kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi, es dan lain lain, timbul sebagai akibat adanya rasa kurang nyaman di mulut. Rasa kurang nyaman ini disebabkan karena enzim sitokrom oksidase yang terdapat pada mukosa mulut yang mengandung besi berkurang.7,8 Dampak kekurangan besi tampak pula pada kuku berupa permukaan yang kasar, mudah terkelupas dan mudah patah. Bentuk kuku seperti sendok (spoon-shaped nails) yang juga disebut sebagai kolonikia terdapat pada 5,5% kasus ADB.7,8 Pada saluran pencernaan, kekurangan zat besi dapat menyebabkan gangguan dalam proses epitialisasi. Papil lidah mengalami atropi. Pada keadaan ADB berat, lidah akan memperlihatkan permukaan yang rata karena hilangnya papil lidah. Mulut memperlihatkan stomatitis angularis dan ditemui gastritis pada 75% kasus ADB (Abdulsalam, 2002).
Dari kasus diatas dapat disimpulkan gejala klinis yang ditunjukkan pada wanita tersebut adalah wajah dan tangannya pucat, sakit kepala, mudah mengantuk, apabila ia berdiri tiba-tiba maka penglihatannya akan hitam dan berkunang-kunang, kadar Hbnya 8 gr/dl dan kadar ferritin serumnya 10 mg/L.
3.      Apakah indikator yang menunjukkan mahasiswa tersebut menderita anemia, bagaimana perbedaannya dengan yang normal?
Menurut Helmyati Siti (2017) indikator yang dapat di gunakan untuk menentukan anemia defisiensi besi aalah sebagai berikut.dikutip dalam
Besi dosis rendah di mungkinkan merupakan jenis intervensi yang paling aman (helmyati siti, 2017).indikator hemoglobin dan ferritin?
subjek
perlakuan
Hasil
referensi
136 wanita anemia, terbagi menjai 2 kelompok
10 ml kecap ikan (berisi 10 mg FNaFeEDTA) (n=), dan control ) (n=), setiap hari selama 6 bulan
Pada kelompok yang mendapatkan kecap difortifikasi vs tidak:
Hb: 116,3 vs 107,6 g\L
SF: 30,9 vs 14,6 μg\L prevalensi difisiensi besi: 32,8 vs 62,5% prevalensi anemia defisiensi besi 20,3 vs 58,3%
Thuye et al., 2003
Anak usia 12-30 bulan
Diberikan susu yang difortifikasi besi (5,28 mg Fe glukonate dan 48 mg as askorbat, n=357) dan kontrol (n=210), setiap hari selama 6 bulan
Penurunan perevalensi anemia:
Dari 44,5% menjai 19,7% SF yang rendah: dari 29,8% menjai 18,6% vs 36,0% menjadi 41,8%.
Zimmermann et al., 2010
Anak usia 6-14 tahun
Diberikan biscuit yang difotifikasi besi menganung 20 mg Fe\hari, besi elektronik 4X\minggu (n=70) dan biscuit tanpa fortifikasi (n=69) selama 6 bulan
Kadar Hb pre-post: 110,7 menjadi 107,1 vs 110,8 menjadi 106,6
Zimmermann et al., 2010
Anak anemia
Diberikan yang difortifikasi besi: tablet Fe dan  mi: mi sebagai kontrol
Merupakan kadar Hb: 17,8 vs 21,2 vs 14,5 g\L
Perubahan SF: 18,5 vs 111,7 vs -6,5 μg\L
Le at al., 2006


4.      Apa dampak anemia tersebut bagi wanita itu dan bagi negara?
Anemia merupakan masalah gizi di dunia, terutama di negara berkembang. Angka kejadian anemia remaja putri di Indonesia masih cukup tinggi. Prevalensi anemia di Lampung pada remaja tahun 2007 sebesar 25,9%, masih lebih tinggi dibandingkan Nasional sebesar 19,7% (Martini, 2015).
Dampak anemia pada remaja putri yaitu pada masa pertumbuhan mudah terinfeksi, kebugaran tubuh berkurang, semangat belajar dan prestasi menurun, sehingga pada saat akan menjadi calon ibu dengan keadaan berisiko tinggi (Fransis, 2008). Pada remaja putri juga memiliki banyak dampak lain, diantaranya: menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar, mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal, menurunkan kemampuan fisik olahragawati dan mengakibatkan muka pucat (Harli, 1999). Di samping itu hasil penelitian pada wanita usia 15-49 tahun di Bangladesh menunjukkan bahwa ketersedian besi dalam tubuh, tinggi badan, dan konsumsi tablet besi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kadar hemoglobin (Bhargava et al., 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Antelman et al. (2000) di Tanzania menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan indeks massa tubuh (IMT), konsumsi sayuran dan kadar serum retinol dengan anemia pada wanita usia subur (Farida, 2007 dalam (Martini, 2015).
Dari hasil analisis dijumpai remaja laki-laki kurang berisiko menderita anemia dibandingkan remaja perempuan, karena remaja perempuan mengalami periode menstruasi dimana kehilangan zat besi sekitar 0,8 mg/hari (Permaesih, 2005).
Lebih 60% remaja mengkonsumsi energi ≤ 70% dari kecukupan yang dianjurkan (AKG 2002). Gambaran ini sedikit lebih rendali dari yang ditemukan Nizar M. Kondisi ini tentu memprihatinkan bagi remaja karena dikhawatirkan akan menghambat pesatnya pertumbuhan mereka. Konsumsi sumber energi terbesar pada masyarakat Indonesia ternlasuk remaja berasal dari beras. Beras mengandung zat besi sebesar 0,5-1,2 mg 1100 gr dan biasa dikonsumsi dalam jumlah besar, sehingga remaja yang mengkonsumsi energy ≥ 70 % mempunyai risiko anemia (Permaesih, 2005).
Berdasarkan hasil–hasil penelitian terpisah yang dilakukan dibeberapa tempat di Indonesia pada tahun 1980- an, prevalensi anemia pada wanita hamil 50-70%, anak balita 30-40%, anak sekolah 25-35% dan pekerja fisik berpenghasilan rendah 30-40%. Menurut SKRT 1995, prevalensi rata– rata nasional pada ibu hamil 63,5%, anak balita 40,1%. Prevalensi anemia gizi yang tinggi pada anak sekolah membawa akibat negatif yaitu rendahnya kekebalan tubuh sehingga menyebabkan tingginya angka kesakitan. Dengan demikian konsekuensi fungsional dari anemia gizi menyebabkan menurunnya kualitas sumber daya manusia (Fidyatun, Rachmawati, Lestari, & Handayani, 2011). Dikutip dalam
Responden yang berpendidikan sesuai dengan umurnya, umumnya lebih inovatif dalam bertindak. Tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan berpengaruh pada pengetahuan dan informasi tentang gizi yang lebih baik. Pengetahuan tentang gizi akan mempengaruhi pilihan konsumsi makanan seseorang (Permaesih, 2005).
Bagi Negara berkembang pendapatan adalah faktor penentu yang penting terhadap status gizi. Rendahnya pendapatan (keadaan miskin) merupakan salah satu sebab rendahnya konsumsi pangan dan gizi serta buruknya status gizi. Kurang gizi akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit, menurunkan produktivitas kerja dan pendapatan. Akhirnya masalah pendapatan rendah, kurang konsumsi, kurang gizi dan rendahnya mutu hidup membentuk siklus yang berbahaya (Ramawati, 2008).dikutip dalam
5.      Bagaimana prevalensi anemia di Indonesia dan di Sulawesi Tengah? Apakah masuk masalah kesehatan masyarakat berat atau tidak?
Prevalensi anemia diperkirakan 9 persen di negara-negara maju, sedangkan di negara berkembang prevalensinya 43 persen. Anak-anak dan wanita usia subur (WUS) adalah kelompok yang paling berisiko, dengan perkiraan prevalensi anemia pada balita sebesar 47 persen, pada wanita hamil sebesar 42 persen, dan pada wanita yang tidak hamil usia 15-49 tahun sebesar 30 persen.2 World Health Organization (WHO) menargetkan penurunan prevalensi anemia pada WUS sebesar 50 persen pada tahun 2025 (Indonesia, 2016).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa persentase anemia di Indonesia pada WUS tidak hamil (≥ 15 tahun) di perkotaan sebesar 19,7 persen. 4 Selanjutnya hasil Riskesdas 2013 menunjukkan persentase anemia pada WUS umur 15-44 tahun sebesar 35,3 persen (Indonesia, 2016).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, sebanyak 14,8% penduduk Indonesia terkena anemia. Prevalensi tertinggi dari penderita anemia di Indonesia adalah kelompok umur 1-4 tahun yang mencapai 27,7% diikuti oleh kelompok umur di atas 75 tahun yang mencapai 17,7%. Pada anak usia sekolah yang termasuk kelompok umur 5-24 tahun, prevalensinya mencapai 16,3% (Bardosono, 2014).
Adapun masalah anemia, berdasarkan data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 Pada Provinsi Sulawesi tengah menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil masih cukup tinggi yaitu sebesar 40,1% (Dirjen Bina Gizi dan KIA, 2014 dalam (Lewa & Prayugi, 2015)range masalah kesehatan masyarakat
6.      Makanan apa yang dianjurkan dan tidak dianjurkan pada wanita tersebut, bagaimana untuk pencegahan lainnya agar wanita tersebut tidak anemia?
 Anemia pada remaja putri disebabkan karena pola makan yang tidak teratur, pantang makan telor/daging/ikan, tidak suka mengkonsumsi sayur, kebiasaan makan fast food dan junk food (Ayu, 2018).
Penderita anemia dianjurkan mengkonsumsi pangan hewani dalam jumlah cukup. Namun karena harganya cukup tinggi sehingga masyarakat sulit menjangkaunya. Untuk itu diperlukan alternatif yang lain untuk mencegah anemia gizi besi. Memakan beraneka ragam makanan yang memiliki zat gizi saling melengkapi termasuk vitamin yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi, seperti vitamin C. Peningkatan konsumsi vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat meningkatkan penyerapan zat besi sebesar 2, 3, 4 dan 5 kali. Buah-buahan segar dan sayuran sumber vitamin C, namun dalam prosespemasakan 50 - 80 % vitamin C akan rusak.Mengurangi konsumsi makanan yang bisa menghambat penyerapan zat besi seperti : fitat, fosfat, tannin (Masrizal, 2009).
Menurut (Masrizal, 2009) Pencegahan Anemia Defisiensi Besi
a.       Suplementasi tabet Fe
Pemberian suplemen besi menguntungkan karena dapat memperbaiki status hemoglobin
b.      Fortifikasi makanan dengan besi
c.       Mengubah kebiasaan pola makanan dengan menambahkan konsumsi pangan yang memudahkan absorbsi besi seperti menambahkan vitamin C.
d.      Penurunan kehilangan besi dengan pemberantasan cacing.Dalam upaya mencegah dan menanggulangi anemia adalah dengan mengkonsumsi tablet tambah darah. Telah terbukti dari berbagai penelitian bahwa suplementasi, zat besi dapat meningkatkan kadar Hemoglobin.
e.       Pengobatan Anemia Defisiensi Besi
Sejak tahun 1997 pemerintah telah merintis langkah baru dalam mencegah dan menanggulangi anemia, salah satu pilihannya adalah mengkonsumsi tablet tambah darah. Telah terbukti dari berbagai peneltian bahwa suplemen zat besi dapat meningkatkan hemoglobin. Makanan yang harus dihindari????
7.    Bagaimana penanggulangan anemia pada wanita tersebut?
Menurut (Zulaekah, Kesehatan, & Surakarta, 2009) penanggulangan anemia dapat dilakukan dengan cara:
1.      Pemerintah melaksanakan sosialisasi tablet besi dan survey cepat anemia gizi besi pada siswi di Sekolah Menengah Umum dan Sekolah Menengah Pertama.
2.      Meningkatkan konsumsi besi dari sumber alami melalui pendidikan atau penyuluhan gizi kepada masyarakat, terutama makanan sumber hewani yang mudah diserap, juga makanan yang banyak mengandung vitamin C dan vitamin A untuk membantu penyerapan besi dan membantu proses pembentukan hemoglobin.
3.      Melakukan fortifikasi bahan makanan yaitu menambah besi, asam folat, vitamin A dan asam amino essensial pada bahan makanan yang dimakan secara luas oleh kelompok sasaran.
4.      Melakukan suplementasi besi folat secara rutin kepada penderita anemia selama jangka waktu tertentu untuk meningkatkan kadar hemoglobin penderita secara cepat


DAFTAR PUSTAKA
Abdulsalam, M. (2002). Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4(2), 2–5.
Amalia, A., & Tjiptaningrum, A. (2016). Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi Diagnosis and Management of Iron Deficiency Anemia. Majority, 5, 1–4.
Ayu, D. (2018). POLA MAKAN DAN KEJADIAN ANEMIA PADA MAHASISWI YANG TINGGAL DI KOS-KOSAN. Jurnal Ilmiah Manusia Dan Kesehatan, 1(1), 144–151.
Bardosono, S. (2014). PREVALENSI ANEMIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ASUPAN ZAT BESI PADA SANTRI USIA 13-18 TAHUN DI PESANTREN X TAHUN 2011. Jurnal Kedokteran, 4(1), 1–11.
Fidyatun, E., Rachmawati, A., Lestari, O., & Handayani, P. (2011). Pukis “ Bangga ” ( Bayam-Mangga ) Untuk Mengatasi Anemia. Jurnal Ilmiah Mahasiswa, 1(1), 20–24.
Helmyati, siti , 2017, Fortifikasi Pangan Berbasis Sumber Daya Nusantara : Upaya Mengatasi Masalah Defisiensi Zat Gizi Mikro Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Indonesia, K. K. R. I. (2016). Kesehatan Reproduksi, (April).
Lewa, A. F., & Prayugi, S. D. (2015). ANALISIS CAPAIAN INDIKATOR PEMBINAAN GIZI MASYARAKAT PROPINSI SULAWESI TENGAH TAHUN 2014 Masalah Kurang Vitamin A ( KVA ) Vitamin Propinsi Sulawesi Tengah ditetapkan sebagai Daerah Bermasalah Kesehatan bersama dengan Sembilan propinsi lainnya pada tahun 2. Jurnal Ilmiah Mahasiswa, 1(18), 915–926.
Martini. (2015). FAKTOR - FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN. Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai, VIII(1), 1–7.
Masrizal. (2009). Anemia defisiensi besi. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(1), 140–145.
Permaesih, D. (2005). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANEMIA PADA REMAJA. Jurnal Kesehatan, 33(4), 11–14.
Ramawati, D. (2008). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN IBU HAMIL DALAM MENGKONSUMSI TABLET BESI DI DESA SOKARAJA TENGAH, KECAMATAN SOKARAJA, KABUPATEN BANYUMAS. Jurnal Keperawatan Soedirman, 3(3), 114–124.
Zulaekah, S., Kesehatan, F. I., & Surakarta, U. M. (2009). Peran pendidikan gizi komprehensif untuk mengatasi masalah anemia di indonesia. Jurnal Ilmiah Mahasiswa, 2(2), 169–178.

Posting Komentar

0 Komentar